Menapaki Jalan yang Benar Menuju Surga
Menapaki Jalan
yang Benar Menuju Surga
Oleh: Ustadz Ahmad Ali MD
Setiap orang, yang sehat akalnya, sehat
pikirannya, mendambakan
surga. Surga adalah lambang dan tempat segala kenikmatan, kesenangan dan
kebahagiaan. Bagi umat Islam surga itu diyakini adanya. Sungguhpun demikian, tidak
semua orang berusaha untuk meraihnya dengan cara yang benar, bahkan
justru banyak pula orang menapaki jalan surga yang salah. Sering
terjadi gap antara harapan, cita-cita,
sesuatu yang ideal, dengan realitas di lapangan.
Manusia
dalam kehidupannya selalu
mengalami dinamika, tidak dalam satu kondisi atau
tingkatan yang sama. Ada tipe orang yang menghabiskan waktu
malam atau siangnya untuk menaati dan mencari ridaan Allah
SWT. Mereka senantiasa jujur, berbuat
baik dalam hablum minallâh (hubungan dengan Allah Taala) dan hablum minan nâs (hubungan dengan sesama
manusia). Tipe orang ini telah menyelamatkan diri mereka
dari kehancuran dan siksa. Ada juga tipe orang yang menghabiskan
waktu malam dan siang mereka dalam kemaksiatan dan melanggar perintah-perintah
Allah Taala, dalam semua sisi kehidupannya, baik yang bersifat individual
maupun terkait dengan orang lain, urusan publik. Selain itu, ada juga tipe orang
yang rajin beribadah, tetapi di sisi lain ia pun bermaksiat, seperti hasud,
ghibah yang tidak diperkenankan syara’, melakukan caci maki, hate speech
(ujaran kebencian), membuat, memposting maupun men-share informasi atau
berita hoaks, fitnah, mengadu domba, dan korupsi. Kedua tipe ini sejatinya
orang yang tertipu (maghrûr), menuruti syahwat, hawa nafsu dan setan
yang menyeretnya ke dalam kesesatan dan kehancuran. Orang dalam kedua tipe tersebut
akan mendapatkan penderitaan di dunia, berupa ketidakdamaian hidup, bahkan dinginnya
penjara akibat pelanggaran hukum, juga tentu siksa di akhirat.
Dalam sebuah hadits Nabi SAW disebutkan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ
اْلإِيْمَانِ، وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلَأُ الْمِيْزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ
وَالْحَمْدُ ِللهِ تَمْلَأَنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ، وَالصَّلاَةُ نُوْرٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ،
وَالْقُرْءَانُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْعَلَيْكَ، كُلُّ النَّاسِ يَغْدُوْ، فَبَائِعٌ
نَفْسَهُ، فَمُعْتِقُهَا أَوْمُوْبِقُهَا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
Artinya: Rasulullah SAW. Bersabda: ”Bersuci itu bagian dari iman, ucapan Alhamdulillah
memperberat timbangan (kebaikan), ucapan Subhânallâh dan ucapan Alhamdulillâh
memenuhi ruangan antara langit dan bumi, salat adalah nur (cahaya), sadaqah
adalah burhan ”bukti
nyata” sabar adalah pelita dan Al-Qur’an adalah “hujjah” argumen yang membela
atau justru menuntutmu. Semua orang berusaha. Ia pertaruhkan
(menjual) dirinya, apakah ia akan membebaskan dirinya ataupun justru menghancurkannya.” (HR. Muslim dari Abû Malik al-Hârits al-Asy’ari
ra)
Yang dimaksud potongan hadis
di atas ”Setiap manusia pergi menjual dirinya. Apakah ia akan membebaskan
dirinya ataupun menghancurkannya,” hadis ini berarti bahwa siapapun
yang berusaha menaati Allah SWT, maka ia telah menjual
dirinya untuk Allah SWT dan membebaskan dirinya dari siksaan,
sebaliknya siapapun yang melakukan kemaksiatan, maka ia telah menjual dirinya
kepada kehinaan dan mencampakkan dirinya ke dalam lembah perbuatan dosa yang
mengundang murka dan siksa Allah Taala. Firman Allah SWT:
وَنَفْسٍ وَّمَاسَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ
أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا.
Artinya: ”Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. (QS.
al-Syâm [91]: 7-10)
Dengan kata lain, orang yang
mensucikan dirinya dengan senantiasa mentaati Allah, maka beruntung, sebaliknya
orang yang senantiasa melakukan maksiat, maka merugi. Jika demikian, maka ketaatan adalah penyuci jiwa dan akan mengantarkannya
kepada tingkatan yang lebih
tinggi, sedangkan kemaksiatan hanyalah memperdaya dan mengekang jiwa dan menjemuskannya
ke dalam jurang ketidakdamaian dan kehancuran.
Jalan menuju surga itu menurut Islam adalah jalan yang clear (jelas, terang benderang), dan mudah, yaitu dengan mentaati ketentuan-ketentuan atau rambu-rambu Allah Taala. Hal itu karena Allah Taala telah menetapkan rambu-rambu di dalamnya: yaitu aturan mengenai yang halal dan yang haram. Siapapun yang berkomitmen dengan rambu-rambu itu maka ia akan sampai tujuan, sementara siapapun yang melanggar aturan-aturan yang ada maka ia akan sesat. Rambu-rambu itu tentunya sesuai dengan kemampuan manusia, karena Allah Swt menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan (QS. al-Baqarah [2]: 185). Jadi, jika seseorang telah melaksanakan yang halal, seperti menuntut ilmu sebagai jalan beribadah, bershadawah, wakaf, infaq, dan bersilaturahim, yakni memperkuat ukhuwah (persaudaraan), baik ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan sesama anak bangsa) maupun ukhuwah basyariyyah (persaudaraan sesama manusia), juga salat wajib, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu (rukun Islam yang lima), serta menghindari yang haram, seperti mabuk-mabukan, mengonsumsi narkoba, korupsi, membunuh tanpa hak, terorisme, termasuk bom bunuh diri, maka secara matematis (otomatis) ia telah melaksanakan semua tugas dalam agama dan akan masuk ke dalam surga. Hal ini dapat dipahami dari hadis Abû ‘Abdillâh Jâbir bin ‘Abdullâh al-Ansharî ra. yang mengisahkan tentang seseorang (yaitu Nu’mân) bertanya kepada Rasulullah saw. ia berkata:
أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ
الْمَكْتُوْبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ
الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئاً، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ؟ قَالَ:
نَعَمْ! (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
Artinya: ”Jika aku shalat
lima waktu, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal (yakni melakukan yang
halal yang meyakininya) dan mengharamkan yang haram (yakni menjauhi yang
haram). Lalu aku tidak menambah lagi selain amalan itu, apakah aku masuk
surga?” Beliau menjawab, “Ya”!. (HR. Muslim)
Selain itu, juga ditegaskan oleh Nabi SAW: Wahai manusia! Tebarkanlah kedamaian, jalinlah silaturahim (ukhuwah, persaudaraan dalam arti luas), dan berilah makan orang yang membutuhkan, dan salatlah di waktu malam, takkala justru banyak manusia tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan kedamaian” (HR. al-Tirmidzî dari ‘Abdullâh bin Salâm).
Menjadi clear bahwa jalan menuju surga itu bukanlah dicapai dengan perbuatan zalim terhadap diri sendiri dan/atau orang lain, sikap ekstremisme atau ”radikalisme”, sebagai penyakit dan najis, dalam berbagai levelnya: radikalisme ringan (mukhaffafah) seperti intoleransi, radikalisme sedang (mutawassithah) seperti membida’ahkan tahlilan dan ziarah kubur, bahkan mengkafirkan orang dan amal keagamaan lain yang berbeda (takfîr), maupun radikalisme berat (mughalazhah), seperti terorisme, bahkan dengan cara bom bunuh diri. Jadi, kita harus menapaki jalan surga dengan cara yang benar. Semoga kita mendapatkan hidayah Allah SWT berada dalam jalan surga yang benar, yaitu menjadi saleh individual dan saleh sosial. Amîn.
*********
Ustadz Ahmad Ali MD, MA., Dai Moderat, Pemateri Keislaman di Tiga Benua (Asia, Afrika dan Eropa), Wakil Sekretaris Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman Majelis Ulama Indonesia (LPBKI-MUI), Twitter: @AliMD IG: @ahmadali.md Youtube: Ahmad Ali MD.
[Note: Tulisan ini dengan versi lebih singkat dimuat di Buletin Jum'at Risalah Nahdlatul Ulama, LTN-PBNU, Edisi No. 153, Januari 2021 M].
0 Komentar