KH. A. Nafi' Abdullah: Guru Sufi Yang Memancarkan Cahaya Islam Di Tengah Keragaman Budaya

KH. A. Nafi' Abdullah: Guru Sufi Yang Memancarkan Cahaya Islam Di Tengah Keragaman Budaya

Oleh: Ubaidillah Achmad

ARRAHMAH.CO.ID - Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, relasi Islam dan kearifan lokal dikejutkan oleh sikap sebagian orang yang mempermasalahkannya. Mereka ini beranggapan, Islam tidak bisa bersinergis dengan kearifan lokal dalam kebudayaan masyarakat. Anggapan ini berimplikasi pada sikap dan perilaku yang membenturkan umat Islam dengan tradisi budaya. Hal ini berpengaruh pada konflik antar sebagian umat Islam dengan kelompok masyarakat yang masih kuat dengan tradisi dan budaya lingkungannya.

Pengaruh ideologi kaum yang anti terhadap sinergisitas antara Islam dan budaya, telah dikenal sebagai pengikut ideologi transnasional, yaitu ideologi yang bersumber dari luar kultur masarakat lokal. Meskipun demikian, kemunculan kaum ideologi transnasional tidak sendiri versus Islam nusantara, karena masih ada beberapa pengikut fanatik dari umat Islam, yang belum menerima pribumisasi islam. Karenanya, perlu memahami makna pribumisasi Islam, yaitu sebagai konsep dasar menjalankan keberagamaan yang ramah terhadap kearifan lokal, baik dari aspek ritual maupun kebudayaan. Konsep pribumisasi Islam ini, yang menjadi dasar bangunan keberlangsungan Islam Nusantara di Indonesia.

Inti ajaran dari Islam nusantara, adalah proses pelaksanaan ajaran Islam secara total dan tidak menjadikannya sebagai paradigma dan sumber konflik dengan unsur kearifan lokal. Sedangkan, kearifan lokal, adalah sebuah pandangan, sikap dan perilaku yang mengajarkan keutamaan dan kemuliaan dari unsur budaya yang terdapat dalam kehidupan masyarakat lokal.

Sehubungan dengan adanya ideologi transnasional di satu sisi, dan keutamaan pandangan Islam nusantara di sisi yang lain, telah memunculkan keberagamaan masyarakat sesuai dengan visi Islam nusantara, namun juga telah menimbulkan konflik keberagamaan yang tidak kunjung selesai. Karenanya, penulis menganggap perlu untuk memaparkan sisi kebudayaan relevansinya dengan nilai ajaran Islam. Dari sisi kebudayaan, akan penulis sampaikan cakupan makna kebudayaan bagi kehidupan umat manusia. Cakupan makna kebudayaan ini, akan penulis pahami dari nilai ajaran agama Islam yang penulis petik dari hikmah pesan KH. A. Nafi' Abdillah Kajen Pati.

Guru Sufi Memancarkan Cahaya Islam

Yang penulis maksudkan dengan guru sufi di sini, adalah KH. A. Nafi' Abdillah. Beliau adalah seorang Ulama, dari Putra KH. Abdullah Salam, yang memiliki jalur kenasapan hingga Syekh Achmad Al Mutamakkin Kajen Pati. Kiai Nafi' memiliki akhlak yang mulia yang dapat memberikan contoh kepada para santri dan masyarakat. Banyak dari generasi dzuriyah Syekh Achmad Al Mutamakkin yang merasakan dampingan dan bimbingan beliau. Beliau memiliki kesabaran yang tinggi untuk mengarahkan putra para Kiai Kajen.

Dalam subbab ini, penulis akan mengkaji pesan Kiai Nafi yang mengantarkan penulis untuk bisa memahami relasi antar Islam dan Budaya. Dalam sebuah kesempatan, pernah Kiai Nafi' berpesan kepada Penulis, yang hingga kini terasa masih mewarnai cara pandang penulis tentang sebuah kebudayaan dan kearifan lokal.

Berikut pesan dimaksud,"awak-e dewi kue kudu ngerti lan nyesuwekke, ana ing empan papan lan kahanan, ara perlu gampang nyalahke liyan lan gawe permusuhan. yen lagi ora cocok karo liyan aja gampang geting lan musuhi, sebabe sewaktu waktu sedulur lan kadang sing ora cocok kue, iso dadi seduluran lan kanggo pitulungan. Kabeh peristiwa kue ana hikmah sing iso dipetik kanggo lelakon sing luwih tatrap lan pantes, lan kabih hikmah kue iso dadi ilmu kanggone wong kang ngerti lan jeru nalari. Iki, sing dadi suratane wahyu, supaya manusa kuwi pada saling serawung lang pada saling ngenal kauripan lan ngenal siji lan sijine sing beda beda."

Pesan ini merupakan ringkasan dari yang penulis terima, karena penulis tidak dapat merekap semuanya, sehingga penulis hanya membatasi ungkapan beliau pada batasan pesan di atas. Dalam pandangan penulis, pesan di atas merupakan pesan yang memiliki daya energi cahaya yang dapat memahamkan pembaca tentang arti hidup dalam sebuah lingkungan yang berkebudayaan. Karenanya, pesan di atas cocok untuk membangun perspektif relasi antara Islam dan Budaya.

Adapun cakupan makna dari pesan di atas, dapat penulis pahami, sebagaimana berikut: pertama, awak-e dewi kue kudu ngerti lan nyesuwekke, ana ing empan papan lan kahanan. Pesan ini memiliki maksud: kita itu harus mengerti dan menyadari serta menyesuaikan hubungan relasi antar manusia dan lingkungannya serta kebudayaan masyarakat. Kita harus memiliki pemahaman yang mendalam terhadap kondisi keberadaan kita, kapan dan di mana kita berada serta dalam suasana kondisi yang seperti apa? hal ini harus benar benar kita pahami supaya dapat menambah pengetahuan dan kematangan pikiran memahami konsep hidup secara lebih bersahaja dan menguatkan sistem bersaudara dengan sesama umat manusia.

Kedua, ora perlu gampang nyalahke liyan lan gawe permusuhan. yen lagi ora cocok karo liyan aja gampang geting lan musuhi, sebabe sewaktu waktu, manungsa kue iso dadi seduluran lan. Artinya, seseorang itu tidak perlu mudah menyalahkan orang lain (pihak lain). Juga, jangan sampai membuat permusuhan dan kebencian antar sesama umat manusia. 

Karenanya, jika seseorang sedang tidak cocok dengan seaamanya, maka tidak perlu benci dan memusuhinya. Keberadaan manusia itu, sewaktu waktu bisa menjadi jalinan persaudaraan yang kokoh yang bisa saling menguatkan.

Ketiga, kabeh peristiwa kue ana hikmah sing iso dipetik kanggo lelakon sing luwih tatrap lan pantes, lan kabih hikmah kue iso dadi ilmu kanggone wong kang ngerti lan jeru nalari. Artinya, Semua peristiwa itu memiliki hikmah yang tersembunyi. Hikmah ini dapat dipetik dan dapat digunakan untuk membentuk pandangan, sikap dan perilaku keseharian yang lebih berkepribadian yang memiliki visi ke depan di tengah kehidupan sosial, politik dan kebudayaan. Karenanya, setiap hikmah itu dapat menjadi ilmu hakikat yang dapat dimiliki seseorang untuk lebih mengerti makna hidup dan untuk mempertajam nalar membaca kehidupan.

Keempat, iki, sing dadi suratane wahyu, supaya manusa kuwi pada saling serawung lang pada saling ngenal kauripan lan ngenal siji lan sijine sing beda beda. Artinya, Hal ini yang bisa dipetik dari pesan wahyu, yaitu supaya sessorang itu bisa saling: membangun relasi persaudaraan dalam keragaman, mengenal relasi kehidupan dengan lingkungannya, dan mengenal yang lain dalam keragaman kebudayaan dan keberagamaan.

Guru Sufi Dan Sistem Kebudayaan Masyarakat

Keberadaan Kiai Nafi' merupakan keberadaan yang sudah menandai sejarah keberagamaan dan keragaman Islam Nusantara. Ada banyak prinsip ajaran Islam yang diajarkan beliau dengan sangat ketat dan disiplin, namun beliau juga mengajarkan keterbukaan sikap mu'amalah dengan budaya lokal. Pesan beliau di atas menegaskan arti penting relasi keragaman dalam sistem kehidupan sosial.

Sosok Kiai Nafi' ----yang memiliki akhlak mulia dan menjaga kesucian prinsip ajaran Islam di tengah hiruk pikuk kepentingan sosial politik, telah memancarkan cahaya iman dan dzikir kepada sesama umat manusia. Cahaya dzikir beliau telah banyak mengantarkan para santri dan para tamu dari berbagai elemen masyarakat yang silih berganti berdatangan memohon pencerahan dari beliau. Beliau memiliki kasih sayang yang tinggi kepada santri dan berbagai elemen masyarakat yang berbeda suku, agama, dan kebudayaan. Lalu, bagaimana keberadaan Kiai Nafi' di tengah sistem budaya masyarakat?

Sebelum membaca peran Kiai Nafi' dalam sistem kebudayaan, perlu memahami arti kebudayaan, yang berasal dari kata “budaya” yang diberi imbuhan “ke-an". Istilah budaya diambil dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Karenanya, kebudayaan sangat terkait dengan akal. Istilah kebudayaan, juga sering disebut culture, berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani (Koentjaraningrat: 2000, p. 181-182).

Sehubungan dengan makna kebudayaan ini, telah muncul dari berbagai pandangan, berikut: pertama, keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain. Kedua, keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan yang dipahami seseorang. Ketiga, hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Ketiga pandangan ini dapat ditemukan pada generasi ke generasi dalam bentuk peninggalan yang masih bertahan hingga kini. Meskipun demikian, telah banyak yang musnah. Bentuk bentuk dari kebudayaan ini, dapat dibaca pada corak kepercayaan, pemikiran dan nilai hidup, adat istiadat, sistem sosial, wujud lukisan, tulisan, arsitektur rumah, asesoris rumah tangga, candi dan lainnya. Dari bentuk kebudayaan ini, telah berkembang sistem nilai budaya, yang berupa: hakikat hidup manusia, karya manusia, waktu manusia, dan hubungan manusia.

Jika penulis amati dari pesan Kiai Nafi' di atas, beliau memiliki konsistensi yang tinggi terhadap prinsip aqidah dan tasawuf, namun beliau sangat terbuka dalam konteks relasi antar sesama umat manusia. Tentu saja, sikap keterbukaan seseorang tidak boleh merusak prinsip yang sudah diterima dari jejak kenabian, Nabi Muhammad, Walisongo, Syekh Ahmad Al Mutamakkin.

Dalam pesan Kiai Nafi' dan sistem kebudayaan  di atas, memiliki kesamaan, yaitu mengajarkan dua prinsip keutamaan: pertama, memberikan rasa aman dan kenyamanan terhadap hak kemanusiaan pihak yang berbeda keyakinan. Kedua, memetik tata keutamaan yang sudah menjadi nilai kearifan lokal. Jadi, bagi santri dan masyarakat dampingan Kiai Nafi' ditekankan untuk bersikap lebih bersahaja dengan budaya lokal dan nilai nilai budaya yang mengajarkan keutamaan hidup. Kedua prinsip ini, dalam analisis penulis, merupakan bagian dari keutamaan yang sudah diajarkan leluhur Kiai Nafi', yaitu sejak Syekh Ahmad Al Mutamakkin.

Ubaidillah Achmad, Penulis Islam Geger Kendeng dan Suluk Kiai Cebolek, Khadim PP. Bait As Syuffah An Nahdliyah Sidorejo Pamotan Rembang.

0 Komentar