Muhasabah Kebangsaan; BAHAYA LATEN INTOLERANSI, Tragedi Pemukulan Ajeungan Emon Cicalengka
ARRAHMAH.CO.ID - Tragedi pemukulan terhadap KH. Umar Basri (ajengan Emon)
saat melakukan dzikir di Masjid Al-Hidayah, Masjid Pesantren yg diasuh sang
ajengan, mengingatkan saya pada dua kejadian penting beberapa tahun lalu.
Dalam kondisi seperti ini diperlukan kewaspadaan
tingkat tinggi dengan kejernihan nalar dan hati agar tidak mudah hanyut dalam
provokasi dan agitasi dalam segala bentuknya. Dulu kita waspada atas bahaya
laten PKI ada baiknya saat ini kita waspada terhadap bahaya laten intoleransi.
Oleh: Ngatawi Al-Zastrow
Pertama, peristiwa pengusiran Gus Dur saat memberikan
ceramah pada acara diskusi di Purwakarta. Saat sedang memberikan ceramah tiba2
datang sekelompok orang berseragam putih yang secara tegas mengaku dari FPI
membubarkan acara tersebut dengan cara-cara yang kasar dan tak beradab. Hujatan, caci
maki dan kata2 kotor ditujukan pada Gus Dur.
Hampir saja terjadi bentrok dan Konflik Horizontal, karena
pada saat itu para Banser dan kaum muda NU sudah siap melakukan serangan balasan.
Tapi dengan tegas Gus Dur justru melarang.
Pada saat itu tak ada tudingan FPI membubarkan pengajian,
tak ada tuduhan Kriminalisasi Ulama meski yang dibubarkan adalah majlis Ilmu dan
yang dilarang bicara adalah ulama besar yang sudah diakui dunia. Juga tak ada
kegaduhan gerakan bela ulama dan Islam dengan demo berjilid-jilid.
Bandingkan dengan kegaduhan yg terjadi saat ini ketika seorang
pembicara agama diminta membuat pernyataan setia pada NKRI seperti yg terjadi
pada kasus Felix dan Ustad Abdus Shomad, seolah-olah terjadi pelarangan pengajian dan
pelecehan ulama. Padahal mereka tidak dilarang kasih pengajian dan badannya juga
tdk tersentuh sedikitpun tapi berita yg tersebar seolah telah terjadi pelecehan
ulama, penistaan Islam dan sejenisnya.
Kegaduhan seperti ini sama sekali tidak terlihat saat
ajengan Emon dianiaya secara fisik bahkan sampai berdarah-darah di tempat yg
disakralkan ( Masjid) bukan di Hotel atau Bandara dan saat melakukan ibadah
dzikir bukan saat memberikan Provokasi yg membakar emosi ummat. Kelompok yang
pernah mengusir Gus Dur ini diam, cep klakep tanpa ada komentar apalagi reaksi.
Terus terang, melihat reaksi kaum daster ini langsung
mengingatkan saya pada hubungan antara Gus Dur dengan ajengan Emon. Ayah beliau
adalah santri Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari, pendiri NU yang juga kakek Gus Dur.
Ini menunjukkan ada kesamaan Genealogi Sosiologis dan Ideologis antara Gus Dur
dengan ajengan Emon. Kesamaan ini yg membuat hubungan emosional antara beliau
berdua menjadi dekat. Hal bisa menimbulkan asumsi bahwa ajengan Emon adalah
sama atau bagian dari Gus Dur sehingga kelompok-kelompok yang dulu membenci dan mengusir Gus
Dur akan merasa tidak perlu simpati
apalagi membela. Mereka menganggap beliau bukan ulama sebagaimana mereka
menganggap Gus Dur sebagai kaum Liberal, yang layak di usir dan dicaci maki.
Dengan cara pandang ini sangat bisa dipahami jika kelompok-kelompok yg selama ini
teriak-teriak bela Ulama dan Islam diam dan tak bereaksi terhadap kasus penganiayaan
yang menimpa ajengan Emon.
Kedua, kasus ini mengingatkan saya pada tragedi pembantaian
di Banyuwangi 1998. Bermula dari issu pembunuhan tukang santet kemudian
melebar menjadi pembantaian terhadap kyai-kyai kampung dan guru-guru ngaji warga NU.
Berdasar data tim pencari fakta (TPF) PWNU Jatim korban pembantaian Banyuwangi ini ada 147 orang, bahkan laporan
LSM Kompak Banyuwangi mencapai 174 orang.
Saya teringat pada tragedi Banyuwangi karena ada beberapa
kesamaan antara kasus Banyuwangi dengan Cicalengka; pertama, sasarannya kyai
kampung NU; kedua, terjadi saat menjelang event Politik bertensi tinggi, ketiga pelaku yg tertangkap
selalu diindikasikan menglami gangguan jiwa, (bahkan ada yg langsung bunuh diri)
sehingga sulit dilacak jejak dan motifnya. Keempat, menjadikan PKI sebagai
kambing hitam pelaku pembantaian ulama.
Pada kasus pengusiran Gus Dur kita bisa melihat bagaimana
kelompok-kelompok intoleran menjadi ujung tombak untuk melawan ulama yg mencoba merajut
ketuhan Bangsa, konsisten pada Pancasila sebagai perjanjian luhur Bangsa. Kaum
intoleran menganggap ulama seperti ini sebagai ulama liberal, agen Zionis dan
tidak membela Islam sehingga layak dihujat, diusir dan dicaci maki.
Meskipun mengaku menerima Pancasila, namun mereka
menafsirkannya secara Sektarian dan Eksklusif, sehingga memberangus dan
menegasikan keberagaman yang ada. Dan ini terlihat jelas dalam perilaku politik
mereka yg Radikal dan Intoleran. Dalam kasus Cicalengka indikasi pelaku sebagai
bagian dari kelompok ini terlihat jelas dalam perkataan dan sikap pelaku
sebelum melakukan pemukulan (sebagaimaan disebutkan dalam kronologi yg beredar
di medsos). Peristiwa ini mengindikasikan kaum intoleran semakin brutal dan
agresif menyerang ulama dan kelompok toleran dan moderat.
Dalam kasus Banyuwangi saat itu, Gus Dur memahami sebagai
upaya memancing emosi kaum Nahdhiyin agar masuk dalam pusaran konflik Horizontal sehingga terjadi kekacauan. Oleh karenanya Gus Dur menahan agar
ummat NU tidak terpancing. Dalam situasi
ketegangan politik yg makin meningkat seperti saat ini, bisa jadi berbagai kepentingan sedang bermain
memanfaatkan situasi yang ada.
Melihat pola dan modus yang terjadi serta mencermati Genealogi Ideologi dan Sosialogi kelompok-kelompok yang menggunakan ayat dan simbol agama dalam
gerakan mereka, bisa dikatakan bahwa gerakan kaum Intoleran yg hendak memecah
keutuhan bangsa masih menjadi ancaman nyata dalam kehidupan berbangsa. Upaya
menghancurkan Pancasila masih dilakukan dengan segala cara.
Jika merujuk pada referensi sejarah kebangsaan, situasi
seperti sekarang ini mirip dengan suasana jelang peristiwa pemberontakan 65,
ketika rakyat digiring dalam suasana konflik atas nama revolusi. Saat ini
rakyat digiring menuju konflik dengan menumbuhkan sikap intoleran menggunakan Agitasi atas nama agama dan Tuhan.
Oleh: Ngatawi Al-Zastrow
0 Komentar