Ngaji Tafsir Maroh Labid fii Tafsiril Qur'anil Majid, Syekh Nawawi Al Bantani "konsep ummatan washatan"
ARRAHMAH.CO.ID -
![]() |
ilustrasi ngaji kitab |
Syekh Umar bin Muhammad An-Nawawi Al Bantani, ulama besar Indonesia
asal Banten, akrab disebut dengan Syekh Nawawi Banten, dalam Tafsirnya, Maroh
Labid Fii Tafsiril Qur'anil Majid memberikan penafsiran menarik tentang
Ummatan Wasathan yang tercantum dalam ayat QS Al Baqarah:143 yaitu: "Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan (ummatan wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad SAW) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu".
Menurutnya, Ummatan Washatan adalah khiyaron
aduulan mamduuhina bil ilmi wal amal (umat yang terpilih yang memiliki sifat
adil yang terpuji berkat sikap ilmiahnya dan amaliyahnya). Ada tiga poin dalam
penjelasan Syekh Nawawi tersebut. Yaitu terpilih (khiyaron), adil (adulan), dan
terpuji dalam ilmu dan amal (mamduhina bil ilmi wal amal). Dengan tiga
poin ini idealitas ummatan wasathan diharapkan akan terwujud dalam kepribadian
seorang muslim.
Poin pertama, terpilih. Kenapa kaum muslimin menjadi umat pilihan
oleh Allah SWT. Hal ini dijelaskan dalam QS Ali Imran, yang artinya:
"Kalian adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, yaitu menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah SWT".
Umat Nabi Muhammad SAW terpilih karena memiliki karakter amar ma'ruf nahy
munkar. Menyuruh kepada yang baik, mencegah yang tidak baik melalui tahap-tahap
yang telah ditentukan oleh Al Qur'an dan Sunnah Rasul serta bimbingan para
ulama pewaris ajaran Nabi. Sementara umat yang lain, yaitu Bani Isra'il mereka
tidak melakukan amar ma'ruf nahy munkar. Mereka dilaknat oleh Allah SWT Karena
mendiamkan kemunkaran. Ibnu Katsir dalam tafsirnya pun menyatakan bahwa
keterpilihan umat Islam ini karena Allah SWT telah memberikan kekhususan dengan
syariat yang paling sempurna, jalan yang paling lurus dan paham yang paling
jelas.
Poin kedua, adalah adil. Kaum muslimin diidealkan sebagai kaum yang
adil. Yang menempatkan sesuatu pada tempatnya. Tidak berlebihan. Tidak zalim.
Seimbang. Moderat dalam menyikapi sesuatu. Khoirul Umuur awsathuha. Sebaik-baik
perkara adalah tengah-tengahnya. Iman dan taqwa hanya dapat diraih dengan
bersikap adil. Seimbang dalam melihat persoalan dunia dan akhirat. Bersikap
adil, menurut Hujjatul Islam Imam Ghozali, bahkan menjadi pokok dari akhlak mulia
yang diajarkan Rasulullah SAW.
Di samping, bersikap berani, bijaksana, dan
menjaga kehormatan. Sebab setiap akhlak memiliki pengecualiannya masing-masing.
Sombong dicela oleh Islam. Tapi sombong yang dilakukan kepada orang yang
sombong itu merupakan sedekah selama tidak lahir dari hati. Tawadlu (rendah
hati) ada tempatnya. Jika rendah hati dilakukan kepada orang kaya, karena
kekayaannya, maka seorang muslim akan kehilangan sepertiga agamanya.
Tak heran jika ada ungkapan la udwana illa aladzolimiin. Tiada
permusuhan kecuali kepada orang-orang yang zalim, yang tidak bersikap adil,
yang melanggar hukum. Musuh kita bukan agama yang berbeda, suku yang berbeda,
ataupun ras dan golongan yang berbeda. Tapi orang-orang yang zalim, yaitu para
pelanggar hukum yang telah disepakati. Ketika Islam datang ke Mekah, kaum kafir
Quraisy menolak Islam bukan karena ajaran tauhidnya an sich yang mengganggu
pikiran dan keyakinan mereka, tapi juga karena praktik-praktik ketidakadilan
sosial ekonomi yang mereka lakukan terancam oleh ajaran keadilan Islam.
Praktik
kecurangan mereka dalam berdagang, dengan mengurangi timbangan dan riba,
misalnya, dicela oleh Islam (wailul lil muthoffifiin). Praktik ekonomi mereka
yang berbasis ketidakadilan menjadi terancam oleh ayat-ayat al Qur'an yang
melakukan keberpihakan yang jelas kepada kaum yang tertindas (mustadl'afiin).
Islam jelas berpihak pada keadilan sosial-ekonomi. Islam menawarkan
keseimbangan hidup antara yang kaya dengan yang miskin dengan konsep zakat-nya.
Poin ketiga adalah, ciri ummatan wasathan adalah ummat yang terpuji
berkat sikap ilmiah-amaliyahnya. Kaum muslimin tidak hanya berilmu tapi juga
beramal. Tidak hanya beramal tapi juga berilmu. Dengan ilmu dan amal mereka
akan terhindar menjadi kelompok yang merugi dan manusia yang rendah. Mereka
akan mendapatkan pahala dan ganjaran yang tak terputus berkat ilmu dan amalnya
sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Ashr dan At-Tiin.
Para ulama' mengajarkan,
bahwa amal akan bernilai jika disertai proses ilmiah/menuntut ilmunya. Amalan yang
wajib, seperti shalat 5 waktu dan lainnya, wajib disertai dengan pengetahuan
mendasar tentangnya. Al Qur'an dan Hadits juga harus dipahami dengan ilmu-ilmu
pendukungnya. Peradaban kaum muslimin adalah peradaban ilmiah dan amaliyah.
Ribuan kitab tafsir dan penjelasan tentang al Qur'an-Hadits telah ditulis dan
dihasilkan oleh para ulama'. Dengan demikian, kaum muslimin harus mempelajari
karya-karya peninggalan para ulama yang bertumpuk-tumpuk tersebut melalui para
ahli dan pakarnya.
Bagaimana konsep ummatan washatan akan terwujud, jika kita
meninggalkan sikap ilmiah-amaliyah ini dan tentunya juga dua poin sebelumnya
yaitu bersikap adil dan beramar ma'ruf nahy munkar. Semoga kita bisa mewujudkan
tiga poin ini untuk menjadi ummat yang moderat, yang diidealkan oleh Al Qur'an.
Amiin.
Oleh: Ustadz Darul Quthni, S.S.I
(cucu Abuya KH Abdurrahman Nawi-ponpes Al Awwabin)
Red: Hakeem
(cucu Abuya KH Abdurrahman Nawi-ponpes Al Awwabin)
0 Komentar