Inti Ajaran Agama Samawi dalam Kitabnya Ihya’ Ulumuddin
ARRAHMAH.CO.ID -
Hujjatul Al-Imam
Al-Ghozali dalam Kitabnya Ihya’ Ulumuddin, memberikan wawasan yang menarik
tentang inti ajaran agama yang dibawa oleh 4 (empat) Nabi dan utusan Allah SWT
(Nabi Isa, Nabi Musa, Nabi Daud dan Nabi Muhammad Shallallahu alaih wa alaihim
wa sallam). Terutama tentang adanya kesatuan nilai di antara agama samawi yang
bersumberkan pada empat kitab sucinya yaitu Injil, Taurat, Zabur dan
al-Qur’an.
Ia mengisahkan
tentang dialog antara guru dan murid di era Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
Harun Ar-Rasyid. Kisah ini dinilainya penting untuk dijadikan sebagai model
pembelajaran Islam. Gurunya adalah Imam Syaqiq al-Balkhiy (wafat 810 M),
seorang guru besar tasawwuf di daerah Khurasan, Persia Kuno, dan Hatim Al Ashom
(wafat 852 M) adalah muridnya.
Imam Syaqiq al-Balkhiy bertanya kepada Hatim
Al-Ashom: “Wahai Hatim, sudah berapa lama engkau belajar kepadaku”. Hatim
menjawab: “33 tahun guru!”. “Apa yang engkau dapat dalam periode belajar selama
itu?” Tanya gurunya lagi. “Delapan masalah (baca:ilmu/nilai) saja, guru!” jawab
Hatim. Sang guru pun mengucap istirja’ (Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un).
“Hampir habis umurku bersamamu, tapi kau hanya mendapatkan delapan masalah
saja selama belajar!” katanya. Hatim pun mengatakan “Betul, Guru! Hanya
delapan, tidak ada lagi!. Saya tidak bohong”. “Baiklah, sebutkanlah delapan
masalah itu !” perintah gurunya.
Hatim pun kemudian
menjelaskan satu demi satu ilmu / nilai yang didapatnya ketika belajar.
Pertama, ia menilai bahwa seseorang selalu mencintai sesuatu, namun, ketika ia
meninggal, sesuatu itu berpisah darinya. Oleh karena itu, ia menjadikan
kebaikan sebagai kegemarannya. Karena kebaikan tidak hanya mengantar ke dalam
kubur, tapi juga akan menjadi teman setia di alam kubur. Ini nilai yang pertama
yang ia dapat dari gurunya. Nilai-nilai kebaikan yang akan menjadi teman di
dalam kubur.
Nilai kedua adalah,
membentengi diri dari hawa nafsu. Nilai ini ia simpulkan dari QS Al-Nazi’at:
40-41 yang artinya: “Dan adapun orang yang takut pada kedudukan Tuhannya dan
mencegah dirinya dari hawa nafsunya, maka surgalah yang akan menjadi
tempatnya”. Hatim meyakini bahwa ayat ini adalah benar. Sehingga ia berjuang
untuk menundukkan hawa nafsunya untuk ta’at kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Esa.
Nilai ketiga, Hatim
meyakini bahwa yang kekal hanyalah Allah SWT. Selain Allah SWT, adalah bersifat
relatif. Ia mengambil nilai ini dari QS An-Nahl: 96 yang artinya: “Apa yang di
sisimu akan habis, dan apa yang di sisi Allah SWT akan kekal”. Nilai keempat,
adalah kemuliaan dapat diraih dengan taqwa, bukan dengan harta, keturunan,
pangkat, dan jabatan. Hatim, menilai kesemua itu tiada artinya tanpa ketaqwaan
kepada Allah SWT. Nilai yang kelima, adalah bahwa Allah SWT telah menentukan
bagian-bagian kehidupan kepada makhluknya, sehingga tidak ada alasan untuk
menyalahkan orang lain, hasud, memusuhi, mencela dan mengutuk orang lain karena
beda bagian/nasib hidupnya ataupun takut tidak kebagian. Hal ini sebagaimana
firman Allah SWT dalam QS Az-Zukhruf: 32.
Nilai keenam, adalah
menjauhi permusuhan dengan manusia dan fokus untuk memusuhi syetan. Sebab, ia
melihat banyak manusia saling bermusuhan, saling berperang, satu sama lain,
disebabkan oleh bujuk rayu setan. Allah SWT berfirman: “ Sesungguhnya setan
adalah musuh bagimu maka jadikanlah ia sebagai musuh “ (QS Fathir: 6). Hatim melihat ayat ini sebagai kesaksian
Allah SWT bahwa yang menjadi musuh adalah setan, dan bukan manusia. Sehingga,
ia tidak mau memusuhi manusia sebangsanya.
Nilai ketujuh, yakin
bahwa rezeki ada di tangan Allah SWT. Ia melihat banyak orang banting tulang,
sampai melebihi batas dengan menghalalkan segala cara, padahal rezeki sudah
dijamin Allah SWT. Atas dasar ini, Hatim mengatakan bahwa ia fokus kepada
kewajiban kepada Allah SWT. Nilai kedelapan adalah bersikap tawakkal (pasrah)
kepada Allah SWT. Banyak orang yang dinilai pasrah kepada makhluk, menurut
Hatim. Padahal Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah
SWT, maka cukuplah Allah SWT baginya” (QS Ath-Tholaq:6).
Setelah delapan
nilai ini dijelaskan Hatim Al-Asham, Imam Syaqiq al-Balkhiy pun kemudian
mendoakan dan memujinya: “Semoga Allah SWT memberikan taufiq kepadamu,
sesungguhnya aku telah mempelajari nilai-nilai yang ada di kitab Taurat Injil,
Zabur dan al-Qur’anul Karim, maka segala macam kebaikan dan nilai keagamaan
berporos kepada delapan masalah ini. Barangsiapa yang menggunakannya, maka
sungguh ia telah menggunakan nilai-nilai dan ajaran yang ada di empat kitab
suci tersebut”
Ust Darul Quth'ni, S.S.I (pengurus LTM PCNU Kota Depok)
Red: Hakeem
0 Komentar