Pentingnya Khidmah pada Organisasi Dengan Sanad Jelas Sampai Pada Rasulullah SAW
![]() |
Nahdlatul Ulama |
KHAZANAH ISLAM, ARRAHMAH.CO.ID - Memasuki era modern, manusia diharuskan memiliki kemampuan ganda untuk ikut serta membangun peradaban dunia. Tentunya, membangun tanpa merusak atau meniadakan yang sepatutnya tidak dilakukan. Semestinya, tidak cukup hanya dengan berbekal satu bidang keilmuan saja untuk mencapai tujuan dan cita-cita seseorang selain motivasi dan spirit dalam memperjuangkannya. Soekarno dalam pidatonya mengatakan, gantunglah cita-citamu setinggi soraya. Sebuah kalimat inspiratif sarat akan makna.
Tanpa terkecuali bagi seorang yang meyakini Allah SWT
sebagai tuhan dan baginda Nabi Muhammad adalah utusanNya. Allah berfirman, dalam QS. Yunus 101,
قُلِ انْظُرُوا
مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا تُغْنِي الآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ
قَوْمٍ لا يُؤْمِنُونَ
101. Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag
ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan
rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".
Seorang mufassir mengatakan ayat ini menunjukkan kepada kita
batasan-batasan pertolongan Allah kepada manusia di muka bumi ini. Selain itu,
Allah melalui nabi Muhammad SAW, memerintahkan agar memperhatikan dan menjaga
alam ini. Sehingga Allah berfirman, dalam surah al-Baqarah, sesungguhkan aku
menciptakan manusia sebagai pemimpin di muka bumi.
Dalam membangun tentu diperlukan Ilmu. Hal ini telah sama
kita ketahui. Di era Baginda Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi dan utusan
terakhir, dengan berbagai pertimbangan dan evaluasi atas nabi dan rasul
sebelumnya, harus memiliki strategi jitu untuk membangun bumi dengan baik agar
terjaga dalam kedamaian.
Tak ayal, Allah pun berfirman, “tidaklah aku mengutusmu,
wahai Muhammad, melainkan rahmat untuk seluruh alam (QS. Al-Anbiya ayat
107). Ayat ini disambut oleh manusia mulya itu dengan sabdanya, “saya diutus
untuk menyempurnakan ahlak”. Jika kita tarik kesimpulan dari Firman Allah
dan Sabda baginda nabi Muhammad tersebut, maka kita mendapat kabar atau
informasi dari Allah untuk ummat manusia, bahwa Allah dalam sebuah pembangunan,
menginginkan kedamaian di dunia ini yang kemudian dibuatlah strategi untuk
menciptakan tujuan Allah tersebut dengan misi pilihan Rasulullah yaitu
menyempurnakan Ahlak Mulia.
Untuk itu kemudian, agama ini, diberi nama ‘Islam’ yang
berarti selamat. Selamat di dunia dan juga selamat di akhirat kelak. Dengan
demikian, tidak berlebihan bila mana, baginda nabi meminta ummatnya, untuk
menyampaikan salam dengan lafadz “assalamu`alaikum Wr, Wb”. Salam
tersebut harus dilakukan oleh muslim satu dengan muslim lainnya (lihat QS.
An-Nur:27,61; lihat pula Riyaduss Sholihin
Hal. 360 cetakan Thoha Putra, Semarang). Bahkan, berdosa hukumnya bagi muslim
bila tidak melakukannya.
Membahas firman Allah di atas, kita perlu pendapat ahli.
Untuk itu, penulis menyatir pendapat mufassir yang terkenal dengan karya imam
yang sangat alim, seorang muhaqiq,
dikenal dengan Jalaluddin pada masanya yaitu Muhammad bin Ahmad al Muhli
Asy-Syafi`I rahimauhuallah. Beliau adalah musonnif kitab tafsir ternama berjudul tafsir Jalalain.
Menurut beliau, baginda nabi Muhammad SAW diutus untuk menebar kasih sayang
kepada seluruh `alam. Sebagaimana kita ketahui, ulama tauhid mendefinisikan,
`alam adalah sesuatu yang berasal dari tidak ada. Makna mudahnya yaitu sesuatu
selain Allah SWT. Artinya, makhluk agung nan mulya itu, diutus oleh Allah untuk
menyampaikan kasih sayang kepada seluruh mahluk ciptaan Allah. Tetapi menurut
beliau, makna dari lil `alamin adalah
manusia dan jin.
Secara detail, imam Ahmad bin Muhammad Sowi Al-Maliki
-mudah-mudahan allah meridhoi dan mengasihinya- dalam kitabnya berjudul Hasiah
Al-Allamah As-showi ala tafsiril jalalain, juz 3, halaman 91, menerangkan,
baginda nabi diutus untuk menebar kasih sayang kepada manusia dan jin, baik
yang patuh, maupun yang ingkar, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.
Sebab, dengan kasih sayang, angkara murka dapat dihilangkan atau dihindari.
Selanjutnya, Imam Sowi menafsiri lafadz rahmah secara
terperinci. Menurut beliau,’rahmah atau kasih sayang’ memiliki arti,
seseorang datang kepada sesuatu yang di dalamnya terdapat petunjuk dan
kebahagiaan. Penjelasan dua ulama -allah irhamhuma- ini, menunjukkan kepada
muslim, terutama saya yang fakir ini, bahwa Allah meminta baginda nabi untuk
menyebar kasih sayang. Dari pemaparan tersebut, Islam sudah barang tentu
memiliki ajaran-ajaran kasih sayang. Kasing sayang untuk semua orang.
Rasul, manusia paling mulya ini, menganjurkan ummatnya agar
senantiasa menebarkan kasih sayang.
Indikasi dari hal itu, beliau meminta ummatnya untuk tebarkan senyum. Allah pun
mengapresiasinya dengan memberi pahala senyum itu sebagaimana orang shadaqah.
Dzat pencipta langit dan bumi serta isinya pun, ikut menjaga kasih sayangNya
dengan meminta hamba-hambaNya lebih menekankan sifat sabar daripada membalas
dendam. Saat Sayyidina Hamzah wafat, rasul lalu bersabda akan membunuh 70 orang
untuk membalas kematian sang pamannya itu. Namun, sebelum itu dilakukan, Allah
menurunkan ayat dengan nada sindiran dalam surah an-nahl ayat 126 berbunyi,
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ
بِهِ ۖ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
Artinya, “Dan
jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” Diriwayatkan, setelah
turun ayat tersebut, rasulullah kemudian bersabda, “kami adalah orang-orang
yang bersabar.” (disarikan oleh Gus Ma`ruf Khozin).
Inti dari
semua itu, adalah Islam agama yang
menjaga perdamaian dalam sebuah tujuan pembangunan. Sehingga, KH. Hasyim
As`ari, menggandeng Ukhuwah Islamiyah dengan Ukhuwah Islamiyah untuk menjaga
kedamaian dalam sebuah negara. Bila tiada negara, bagaimana mungkin syari`at
bisa dilaksanakan dan ditegakkan. Menjaga perdamaian tersebut dengan dakwah
bil ma`ruf dan nahi mungkar bil ma`ruf.
Untuk itu, tidak
berlebihan bila mana penulis mengatakan, sumber kebenaran di era modern ada
pada diri individu yang ramah, sopan dan berahlak mulia. Tidak memiliki rasa
benci bahkan memuat rasa cinta bahkan kepada musuhnya sekalipun. Siapa pun
orang itu, bila kita melihat dari diri orang itu terpancar kedamaian dan
ketenangan, dari situlah sumber kebenaran yang patut kita ambil.
Menutup tulisan
ini, ada baiknya penulis mengutip sedikit perkataan Sayyidina Umar Bin Khattab,
تَفَقَّهُوا قَبْلَ
اَنْ تُسَوَّدُوا
"Dalamilah dulu pemahaman (ilmu) sebelum kalian memimpin."
Pernyataan lainnya, "Dalamilah dulu pemahaman (ilmu) sebelum kalian memimpin."
لاَ اِسْلاَمَ اِلاَّ بِالْجَمَاعَةِ وَلاَ جَمَاعَةَ اِلاَّ
بِاْلاِمَامَةِ
"Tidak ada Islam kecuali dengan berjamaah dan tidak ada
jamaah kecuali dengan kepemimpinan."
Sumber kebenaran yang
penulis maksud, bukan ada pada individu, tetapi ada pada kelompok atau
organisasi. Penulis bangga mendapat kebenaran dari sumber tersebut. Untuk
mengetahui, silahkan anda cari tahu sendiri, organisasi atau kelompok mana yang
sesuai dengan Visi dan Misi Rasulullah yang membawa pesan-pesan dari Allah SWT, selaku sumber kebenaran utama
manusia yang telah dipaparkan di atas. Wallahu Allam Bis sowab.
Holi Hamidin, S. Pd. I, aktivis Muda NU Pontianak
0 Komentar