Minyak Kelapa, Gula, Garam, Jamu dan Rokok: Komitmen Jokowi Kawal Nawacita, dan Ketahanan Ekonomi Indonesia
![]() |
Rokok Kretek Khas Indonesia. Image: Google - Kretek |
Oleh: Abdulloh Hamid
SantriMenara & Pemerhati Rokok
SantriMenara & Pemerhati Rokok
"Penjajah tidak akan punah dan tidak sudi enyah dari muka bumi Indonesia ini, meskipun pada tanggal 17 Agustus 1945 telah kita proklamasikan kemerdekaan Indonesia!" (Soekarno).
Indonesia terkenal dengan kekayaan sumber daya alamnya (SDA), pesona keindahannya siap menyihir siapa saja yg berkunjung ke negeri zamrud katulistiwa ini, bahkan hampir 80% orang timur tengah ingin tinggal dan hidup di Indonesia (Lukman, 2016).
Selain pesona alam yang memukau Indonesia dianugrahi dengan keragaman budaya suku agama yang berbeda beda tapi tetap satu jua (Bhineka Tunggal Ika). Kembali masalah kekayaan SDA kita, di tahun 90-an di Mandar Sulawesi Barat tersebar di Kabupaten Polman dan Majene, nilai produksi industri minyak kelapa mencapai 4.96 M. Pengelolaan industri rumahan ini menyebar sampai ke lintas pulau bahkan ke manca negara. Selayar, pulau Sulawesi merupakan penghasil kelapa (emas hijau) bahkan mencapai puncak kejayaan pada tahun 1930-an dan terulang kembali pada tahun 1960-an sehingga diberi sebutan sebagai era 'emas hijau' (Heersink:1999).
Namun gonjang ganjing harga kopra di pasar dunia membuat kota ini nyaris menjadi kota mati di tahun 1980-an, hal ini bermula para tahun tersebut, American Soy Association melancarkan kampanye tentang bahaya kolestrol yang terkandung dalam minyak kelapa sebagai strategi untuk melindungi produk mereka. Mereka meminta pemerintah memasang label peringatan dalam setiap produk yang mengandung minyak kelapa, nyaris bukan? Pola tersebut sama dg yang dilakukan untuk memberantas semua hasil nusantara.
Dalam buku membunuh indonesia (Abhisam, dkk: 2011) disebutkanTentang nasib Gula (1930-an) Indonesia menjadi produsen nomor dua setelah Kuba, tapi sejak IMF datang tahun 1998 yang memaksa pemerintah untuk melepas tata niaga MEFP yang diteken di Jakarta 15/01/1998, pada letter of intent pada butir 44 disebutkan pemerintah membebaskan tata niaga pertanian mulai Januari 1998 (termasuk gula) maka gula import mulai membanjiri bahkan banyak pabrik gula gulung tikar.
Garam, lain gula lain pula dengan garam meskipun cerita hampir serupa dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia pernah berjaya dengan produksi garamnya, predikat pengekspor garampun disandangnya, namun keadaan berbalik sejak Akzo Nobel berkampanye besar-besaran penggunaan garam beryodium di Indonesia, sentra garam nasional berguguran bangkrut, lahan tambak terbengkalai, produksi garam nasional turun drastis, ribuan orang kehilangan mata pencaharian, sebaliknya impor garam beryodium merajai dg dalih kesehatan.
Jamu juga demikian, salah satu kekayaan nusantara menimpa industri jamu dalam negeri, dalam dokumen obat tradisional (Kotranas) 2006 tercatat ada 30.000 jenis tetumbuhan yg teridentifikasi dan 7.500 tergolong tanaman obat sementara dalam survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2001 tercatat sebanyak 57.7% penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri tanpa bantuan medis, 31,7% diantaranya menggunakan obat tradisional dan 9.8% memilih tata pengobatan lainnya.
Namun dengan alasan kesehatan melalui perusahaan farmasi dg obat-obatnya dg peraturan perdagangan dunia tentang hak kekayaan intlektual yg ditetapkan oleh WTO 1994. Lewat rezim "Intlektual property right" menghalalkan pembajakan hayati atas dalil kesehatan dan lagi-lagi pemerintah tidak berdaya (Chang, 2008).
Apakah rokok kretek yang berasal dari tembakau ini akan diberangus juga dengan pola yang sama? Dengan wacana pemerintah menaikkan harganya? Apakah pemerintah tidak mengetahui ini seperti pola lama? apakah sudah memikirkan petani cengkeh, buruh pabrik rokok dan produksi rokok dalam negeri terpikirkan? Apakah nasib rokok akan seperti kelapa, gula, garam dan jamu?
Saya jadi teringat sebuah kata2 bijak "Bahwa yang membahayakan dari seorang perokok adalah karya dan pemikirannya" Wallahu a'lam
Editor: Ibnu Yaqzan
0 Komentar