Relasi Suci Kosmologi: Fondasi Kesatuan Agama Agama
Oleh: Ahmad Fahmi As Syiddiq
Sehuhungan dengan kebijakan para pemimpin dan ketidakpedulian para penambang di sejumlah kawasan atau lahan subur pertanian, telah mengundang banyak peristiwa konflik ekologis dan konflik akar rumput. Hal ini tidak terlepas dari upaya sistem permodalan yang kurang memperdulikan lingkungan dan masa depan kemanusiaan. Fenomen ini, telah mengundang keprihatinan berbagai pihak yang peduli terhadap lingkungan. Jika tidak segera teratasi mpdel pertambangan yang mengabaikan lingkungan lestari, maka akan berakibat buruk pada kesatuan relasi suci kosmologi.
Keprihatinan yang sama, juga dirasakan para tokoh agama di Rembang dan Jawa Tengah. Dalam keprihatinan ini, telah mendorong Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan (Komisi HAK) Keuskupan Agung Semarang (KAS) dan Jawa Tengah menggelar seri diskusi Angkringan Glenak-glenik dengan tema ’Merajut Relasi Suci Kosmologi’, Senin (21/8) di Kantor Pelayanan Pastoral KAS.
Hadir sebagai pembicara K. Ubaidillah Achmad (Kiai NU, Dosen UIN Walisongo, Penulis Buku Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng), Romo Aloys Budi Purnomo (Ketua Komisi HAK KAS), dan Bapak Hendra dari tokoh agama Budha. Dalam forum telah hadir beberapa Roma, Pendeta, aktivis kemanusiaan, dan aktivis mahasiswa yang peduli pada lingkungan lestari.
Dasar dari tema kajian bidang Kosmologi ini, sebagaimana yang ditegaskan moderator menegaskan, bahwa kosmologi merupakan bidang kajian keilmuan tentang struktur alam semesta. Kajian bidang kosmologi ini berlangsung mengiringi sejarah perkembangan peradaban umat manusia. Keberadaan bidang kosmologi membantu masyarakat untuk memaknai alam. Agama juga mengambil bagian bidang kajian kosmologi untuk menafsirkan fenomena ketuhanan, kemanusiaan, dan kesemestaan. Secara khusus, Ilmu kosmologi berhubungan dengan asal mula dan evolusi dari suatu subjek. Bersamaan dengan perkembangan pemikiran manusia, kosmologi menjadi bidang kajian astronomi, filosofi, dan agama. Sekarang ini, kajian kosmologi juga tidak luput dari kajjan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Ade Limas Dodi dalam Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar dari Berpikir, Agama, Sosial, Politik, hingga Ekonomi (2014) menjelaskan, kosmologi adalah sub-cabang metafisika mengenai studi tentang alam semesta, terkait dengan asal-usul alam semesta, yang lebih mendalam mengenai segala fenomena yang ditampakkan alam semesta.
Perkembangan kosmologi sebenarnya juga terkait dengan manusia, namun pokok pembahasannya lebih difokuskan pada bagimana alam semesta ini muncul, apa yang mendahului alam semesta, siapa yang berperan di balik adanya alam semesta, seperti apa alam semesta ini memberikan potensi kehidupannya dan sebagainya.
Dari kosmologi ini menginspirasi lahirnya ilmu fisika dan astronomi, namun juga menginspirasi lahirnya berbagai pemikiran metafisis kosmos, baik yang dahulu dipercaya kebenarannya, maupun yang masih eksis adanya, seperti kosmologi dalam agama dan kepercayaan (sekaligus mitologinya).
Menjaga Kosmologi, Menjalankan Risalah Kenabian
Gus Ubaid, sapaan akrab K. Ubaidillah Achmad menyampaikan, hahwa ada seorang Ulama Klasik yang menyerukan arti penting kesatuan agama (wahdah al adyan) di tengah upaya membangun misi relasi suci kosmologis, bernama Syekh Ibnu ‘Arabi. Istilah ini tidak dimaksudkan untuk menyatukan aspek ritual dari ajaran agama, namun untuk menyatukan fundasi keberadaan agama agama kenabian, berupa relasi suci kosmologis.
Selanjutnya, Gus Ubaid juga memaparkan bahwa perjuangan merawat relasi suci kosmologis ini, sejalan dengan arah perjuangan para Nabi. ”Para Nabi tidak hanya menyiarkan relasi kuat manusia dengan Allah, namun juga menguatkan kesatuan gerak dan kehendak yang bersumber dari gerak dan kehendak Allah yang harus dijaga dan dirawat, sehingga tidak rusak dan tercerman oleh kepentingan kapitalisme yang mengabaikan kemanusiaan dan kesemestaan." Karenanya, kita semua perlu bersama sama semangat menjaga relasi suci kosmologis dan melawan kekuasaan sistem permodalan yang mengancam masa depan kemanusiaan,” tegasnya.
Sehubungan dengan relasi suci kosmologis, Gus Ubaid menegaskan, bahwa jika merujuk pada kisah Kenabian, kehadiran semua Nabi karena dilatar belakangi musuh bersama umat manusia, yaitu ideologi materialisme dan kapitalisme. kedua ideologi inilah yang menjadi sumber konflik dunia dan fasisme politik kekuasaan. Misalnya, ada kisah Nabi Ibrahim versus Namrud, ada kisah Nabi Musa versus Firaun, ada kisah Isa versus kekejaman Yahudi, ada Muhammad versus kapitalisme Arab Jahiliyah. Di zaman Nabi banyak patung patung yang diletakkan di atas Ka'bah.
Gus Ubaid mengatakan, patung-patung itu merupakan hasil pertambangan batu berkualitas yang dijadikan untuk pemujaan. “Bukan demi kebutuhan spiritual tetapi perjanjian kapital dan perdagangan,” ungkapnya. "Ada juga kisah Nabi Musa yang memperjuangkan nasib sebangsanya atas kesewenang-wenangan Fir’aun. Nabi Isa yang melawan penjajahan bangsa Romawi dan Yahudi," tambahnya.
Dahulu Ka’bah dihiasi dengan patung-patung sebagai simbol perjanjian perdagangan yang dipasang di atas Ka’bah. Makkah menjadi pusat perdagangan saat itu, dan Ka’bah menjadi tempat perjanjian perdagangan. Sementara itu, ada banyak buruh yang tidak mendapat upah layak dan menjamurnya praktik perbudakan.
Kemudian lahir Nabi Muhammad yang membawa risalah, mengajak masyarakat untuk percaya kepada Allah dan membangun relasi suci kosmologis. Konteks relasi suci kosmologis yang ditekankan Nabi Muhammad, berupa menguatkan relasi dengan Allah jangan dihancurkan oleh ketakutan umat kepada para pemodal arab jahiliyah.
Sehuhungan dengan fitrah kesadaran arti penting menjaga relasi suci kosmologis ini, Nabi Muhammad terus bersemangat melawan kapital. Meskipun demikian, Nabi melawan kapital selalu berupaya dengan jalan damai tanpa mengorbankan kemanusiaan. Jika terjadi perlawanan, maka sebagai bentuk pertahanan diri. Selain itu, sebagai seorang pemimpin Nabi juga mengajarkan setiap mengambil keputusan selalu mempertimbangkan rasa keadilan, persamaan dan kemanusiaan.
Hal ini dicontohkan Nabi ketika akan berangkat ke medan perang, Nabi berpesan kepada pasukan muslimin untuk tidak membunuh musuh yang sudah menyerah atau tidak berdaya, tidak membunuh anak-anak dan wanita, dan tidak merusak tumbuh-tumbuhan. Juga tentang perbudakan, Nabi tidak melarang secara keras praktik perbudakan, tetapi dengan halus, yaitu menyerukan untuk membebaskan para budak dengan cara menebusnya.
Lebih lanjut Gus Ubaid menjelaskan, semangat menjaga relasi suci kosmologis ini nampaknya tidak dipahami oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah dalam melihat kasus Semen Kendeng. Dalam pemberitaan media telah dijelaskan bahwa Presiden meminta menghentikan semua ijin pertambangan di Pegunungan Kendeng selama satu tahun guna menunggu hasil kajian lintas kementerian. Tetapi Menteri Rini telah mengambil jalan sendiri mendatangi warga Pegunungan Kendeng, Rini mengatakan bahwa hanya 10 persen saja masyarakat yang menolak, dan mayoritas hidup bahagia, bahkan mencoba menawarkan win-win solution.
“Seharusnya kebijakan penguasa jangan mengukur kuantitas antara masyarakat pro dan tolak, tetapi kebijakan harus diambil melalui perspektif kemanusiaan dan relasi keseimbangan alam,” papar Dosen Filsafat Pendidikan Islam dan Budaya Jawa ini. Sementara Ganjar hanya berpangku tangan dan menyerahkan keputusan hukum kepada pengadilan.
Menjaga Keseimbangan Makrokosmos dan Mikrokosmos
Dalam paparan Gus Ubaid, agar keseimbangan kosmologis terjaga dengan baik, kita harus bisa menjaga mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos (jagad gedhe). Mikrokosmos adalah manusia, sebagai khalifah fil arld dan sebagai ‘abdullah. Sedangkan makrokosmos adalah seluruh alam semesta dan isinya seperti gunung, tumbuh-tumbuhan juga manusia.
Bapak tiga anak ini menggambarkan makrokosmos dengan sebuah lingkaran, di sisi kanan ada al Awwal, sisi kiri ada al Akhir, sedangkan di atas lingkaran adalah al Dhohir (ada dalam ketiadaan) dan bagian bawah adalah al Bathin (tidak ada dalam keberadaan). Di dalam lingkaran berisi alam semesta dan seisinya atau biasa dikenal dengan fisik/fisika. Sedangkan di luar lingkaran adalah hal-hal metafisika. “Tetapi terkadang dalam hal fisik juga masuk hal-hal metafisik, begitu pun sebaliknya,” jelas Gus Ubaid. Untuk itu, Ubaidillah Achmad mengartikan ilmu kosmologi sebagai kesatuan antara hal-hal yang berada di luar alam semesta dengan hal-hal yang ada di dalam semesta.
“Animisme dan dinamisme tidak harus dipahami dari perspektif rasional, karena seluruh alam ciptaan menyimpan unsur senyawa yang tidak semuanya bisa dipahami dengan subjektifitas-rasio,” imbuhnya. Konsep ini sesuai dengan yang dicetuskan oleh Albert Einstein, yaitu teori relativitas, percaya antara fisik dan metafisik,
Di lingkaran itu kemudian ada segitiga yang menggambarkan relasi Sang Pencipta dengan ciptaanNya (makhluk). Di atas segitiga adalah Allah Jalla jalaluhu, di pojok kiri adalah manusia (jagad cilik/mikrokosmos) dan di pojok kanan adalah alam semesta (jagad gedhe/makrokosmos). Dan tiga unsur ini adalah subjek yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Dalam diri manusia terdapat unsur ilahiah, insaniyah dan kealaman. Maka dari itu, sikap berlebihan manusia terhadap alam akan berbalik kepada kondisi manusia itu sendiri, karena alam juga menjadi subjek yang bergerak mengikuti titah Allah. Meskipun antara manusia dan alam sama-sama sebagai subjek, akan tetapi alam tidak memiliki unsur kemanusiaan.
Menolak Teori Descartes: Rasio dan Body
Menurut Penulis Buku Suluk Kiai Cebolek, "Relasi suci kosmologi merupakan fitrah yang menjadi prinsip dan membentuk perspektif manusia, namun tidak semua manusia mengikuti potensi kesadaran fitrahnya tentang desain keberadaan manusia ralasinya dengan Allah dan kesemestaan. Yang menjadi persoalan, telah banyak umat manusia yang mengabaikannya. Hal ini karena telah banyak yang meyakini teori Descartes, yang beranggapan, bahwa manusia hanya dapat dilihat dafi dua unsur: unsur rasio dan unsur body."
Sehubungan dengan persoalan ini merupakan salah satu alasan, mengapa Allah Jalla Jalaluhu selalu mengutus Para Utusan untuk mengembalikan kesadaran fitrah manusia tentang relasi syci kosmologis. Jadi, relasi suci kosmologi sudah terjaga sejak risalah kenabian. Namun demikian ini, telah rusak beriringan dengan konsep yang diajukan Rene Descartes dengan teori dualismenya, yakni memandang manusia hanya dengan akal (ratio) dan fisik (body) tidak didasarkan pada kosmologi.
Untuk membuktikannya, Gus Ubaid memaparkan teori Al Ghazali yang tidak hanya melihat manusia dari akal dan fisik saja, tetapi manusia juga memiliki hati, ruh, akal, dan nafs. Dalam bahasa lain, jika Descartes menekankan adanya faktor inderawi saja, Sedangkan Imam Al Ghazali memakai faktor inderawi dan non-inderawi, atau indera luar (al Hissiyat) dan indera dalam (idraakiyah). Jadi, betapa manusia telah dikerdilkan oleh asas rasionalitasnya sendiri.
Dalam kontekstualisasinya sekarang ini, jika benar-benar Rini Soemarno tidak hanya melihat rasio dan body dalam wujud kapital (modal), tentu dia akan mengikuti arahan Presiden Joko Widodo dan tidak melihat kasus Semen Kendeng hanya dari kuantitas antara warga pro dan tolak semen, tetapi lebih melihat bagaimana kerusakan alam jika benar-benar pabrik semen beroperasi.
Kosmologi Dalam Tradisi Katolik dan Budha
Apa yang disampaikan oleh penulis buku Suluk Kiai Cebolek Dan Islam Geger Kendeng mengenai kosmologi Islam, ternyata juga terdapat pada teks suci dan tradisi dalam agama Katolik. “Apa yang disampaikan Gus Ubaid tadi, sama dengan keyakinan Katolik, hanya berbeda istilah,” ungkap Romo Budi, sapaan akrab Romo Aloys Budi Purnomo.
Romo Budi menjelaskan, jika tadi Gus Ubaid menyampaikan ada Awal dan Akhir, dalam Katolik ada Alfa dan Omega. Jika tadi ada tiga unsur saling berkait, Allah, Manusia dan Alam, dalam Katolik dikenal dengan istilah Khalik dan Makhluk (manusia dan alam). Jika tadi dijelaskan manusia memiliki unsur ilahiah, insaniah dan alam, dalam penjelasan agama Katolik, manusia diciptakan secitra dengan Sang Khalik.
Inti ajaran tentang kosmologi dalam Katolik tertuang dalam Kitab Kejadian Bab I Ayat 1 yang berbunyi, “Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi…” Dapat dimengerti bahwa berawal dari benda mati kemudian menciptakan air, udara, tumbuhan, binatang dan manusia. Dan tertuang dalam Kitab Wahyu Bab 22 Ayat 21, “Amiin… (untuk langit dan bumi baru).”
Dalam Katolik, para nabi diutus untuk misi pemulihan di tengah-tengah kehancuran. Hal ini ditegaskan dalam firman, “Pergilah dan wartakanlah Injil (kabar gembira) kepada segala makhluk.”
Dalam kesempatan itu, Bapak Hendra, tokoh agama Budha menyinggung tentang kategorisasi agama samawi (langit) dan ardhi (bumi). “Katanya agama Islam, Kristen dan Yahudi turun dari langit, sedangkan Hindu Budha tidak,” selorohnya. Memang dalam ajaran Budha sangat ditekankan terkait keseimbangan alam.
Tetapi, hal itu sekarang ini seolah terkikis dengan adanya budaya modern yang materialistic. Untuk itu Beliau berpesan kepada generasi muda, “Perlu ditingkatkan pengertian dan pemahaman tentang hal-hal metafisik agar tidak terjebak kepada materialisme.”
Nasihat Untuk Ulama dan Umaro’
Selanjutnya mengenai relasi ulama, umaro (pemimpin) dan masyarakat, Gus Ubaid berkisah tentang KH. Abdullah Salam Kajen Pati yang semasa hidupnya sangat menghormati pemimpin dan yang dipimpin, namun tetap menjaga jarak dengan para pemimpin pemerintahan. Beliau telah melanjutkan jejak para leluhurnya, yaitu menghormati pemimpin pemerintahan dan negara, namun tidak merapat dan menjadi tangan panjang penguasa. KH. Abdullah Salam, adalah seorang Ulama Sufi Besar yang lebih fokus pada penguatan moral dan Etika Masyarakat relasinya dengan Allah dan unsur kesemestaan.
Mbah Dullah tidak pernah mau menerima kunjungan resmi kenegaraan atau tamu resmi dari pemimpin pemerintahan. Karena Mbah Abdullah Salam memiliki prinsip lebih baik menjaga sumber kecil tetap berlangsung jangan sampai berhenti. Karenanya, beliau hati hati dan menjaga jarak dengan para pemimpin pemerintah yang diibaratkan sebagai sumber besar. Dalam prinsip tradisi leluhur beliau menegaskan, bahwa selalu keberadaan sumber kecil akan terancam ketika ada sumber besar datang. Maksudnya, ketika ulama didatangi oleh para pemimpin, maka daya relasi, nilai ikatan, sumber kekuatan ikatan jejak kenabian antara Ulama dan masyarakat akan memudar dan menjadi lemah, bahkan akan cenderung mati.
Mengapa demikian? Karena ketika seorang Kyai menerima kunjungan dari pemimpin atau seorang tokoh politik, maka kesan di masyarakat Kyai tersebut dekat dengan pemimpin atau tokoh politik tersebut. Dan sekarang ini yang terjadi, yang memerlukan perbaikan, tidak hanya ulama dekat dengan pemimpin atau politisi tetapi ulama tersebut sekaligus menjadi seorang politisi, menjadi pemimpin pemerintahan.
Tetapi ada pengecualian, ketika KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia keempat ini sowan ke ndalem Mbah Dullah di Kajen Pati. Namun, ketika itu Mbah Dullah mau menerima kunjungan Gus Dur bukan sebagai Presiden, tetapi sebagai seorang Ulama dan keluarga. “Dan itu pun, masuknya melalui pintu belakang,” jelas Gus Ubaid.
Belajar dari prinsip Mbah Dullah ini, Gus Ubaid menyatakan lebih berarti bagi seorang tokoh agama untuk menjaga dan merawat sumber kecil dari pada sumber besar. Sumber kecil yang dimaksud, adalah relasi dengan rakyat dan masyarakat, menjaga hak warga negara dan umat manusia.
“Tokoh agama manapun tidak boleh memberontak pemimpin, namun juga jangan menjadi tangan panjang atau corong kekuasaan. Dengan demikian, keberadaan daya maghnetik Ulama akan kuat di tengah antara penguasa dan masyarakat. Jika Ulama kuat, maka penguasa tidak akan memainkan Ulama dan Rakyat tidak akan mengabaikan Ulama. Jadi, seorang Ulama di tengah institusi apapun, harus menghormati institusi tersebut (negara) dan mampu menjaga institusi kenabian untuk pencerahan dan pembebasan. Ulama jangan memberontak pemimpin pemerintah, namun juga tidak lemah kepada pemerintah,” tegas pengasuh lingkar As Syuffah Pamotan Rembang ini. Bahkan Al Ghazali pernah mengingatkan kita, jikalau ada penguasa berbicara tentang agama, seorang ulama harus tetap konsentarsi pada teks kewahyuan yang sudah dipahaminya, sehingga tidak lemah pemahaman dihadapan pemimpin pemerintah.
Sikap seperti ini menunjukkan kehati-hatian seorang Kyai dan juga sebuah prinsip teguh dalam membawa risalah kenabian. Sebagai warotsatul anbiya’, seorang tokoh agama memegang prinsip kebenaran dalam relasi suci kosmologis sebagai landasan Tauhidnya. Juga harus mampu memaknai secara kontekstual ayat-ayat suci, bukan sekadar mengimajinasikannya.
Dalam memahami ayat (tanda), harus masuk ke kawasan tanda. Seperti contoh, ketika menafsirkan QS. Al Hujurat ayat 13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal..” Jika ayat ini hanya diimajinasikan dan tidak masuk ke kawasan tanda, yakni berinteraksi langsung dengan masyarakat lintas agama, ras, suku dan bangsa, maka kita tidak akan merasakan bagaimana nikmatnya silaturrami dalam ayat tersebut.
Juga ketika seorang ulama dihadapkan dengan maraknya isu komunisme sekarang ini, harus bisa membawa agama Islam berdialog dengan ideologi-ideologi besar dunia semacam kapitalisme dan komunisme. Gus Ubaid menyebutkan, agama bukan kapitalis juga bukan komunis, tetapi jika umat beragama berhadapan dengan keduanya atau berada di antara keduanya, maka umat beragama harus dapat mengambil hikmah tidak langsung memusuhi para pengikut ideologi tertentu yang justru mengorbankan nilai kemanusiaan. Dalam kontek bercanda dihadapan para peserta, Gus Ubaid berucap, “Jika ingin menolak komunis, juga harus tolak kapitalis."
Dengan kebesaran dan keramahannya, Islam tidak akan mudah takluk dengan ideologi manapun. Bahkan Nabi tidak mengkhawatirkan itu (ideologi-ideologi dunia). “Tetapi yang ditakutkan nabi Muhammad hingga beliau meneteskan air mata adalah umat Islam akhir zaman yang cinta dunia dan takut mati,” pungkas Gus Ubaid. (Edu-On/FHM)
Penulis, PU LPM Edukasi FITK UIN Walisongo Semarang, 2014-2015.
0 Komentar