#AyoMondok: Memoir Seorang Santri, Digembleng Di Pesantren Menjadi Pribadi Tangguh, Kini Kuliah di Georgetown University, AS

Santri Nurul Ummah, Kota Gede, Yogyakarta Kuliah di Georgetown University, AS


Shohib Masykur
Shohib Masykur. Photo: Album Photo FB Shohib Masykur
Oleh: Shohib Masykur

PENDIDIKAN ISLAM, ARRAHMAH.CO.ID - Saya lulusan Nurul Ummah, sebuah pondok pesantren tak terlalu besar yang terletak di kawasan Kotagede, Yogyakarta. Pengasuhnya waktu itu adalah Kiai Asyhari Marzuqi (rahimahullah), Rais PWNU Yogyakarta yang juga alumnus Universitas Baghdad, Irak, dan juniornya Gus Dur. Pak Kiai, begitu kami biasa memanggil beliau, adalah seorang ulama alim yang santun. Di kediamannya terdapat ratusan jilid kitab yang beliau “kunyah” semasa muda. Juga ada berjilid-jilid buku Encyclopedia Britanica.

Pak Kiai pernah bercerita, waktu kuliah di Baghdad dulu beliau rajin mengunjungi perpustakaan kampus untuk memuaskan kegemaran beliau membaca. Apa yang beliau jumpai di sana cukup mencengangkan: banyak dari buku-buku itu telah dicoret-coret dan dikasih catatan oleh, tak lain dan tak bukan, Gus Dur. Saya menangkap rasa kagum dan hormat beliau terhadap Gus Dur.

Seperti kebanyakan santri di situ yang jumlahnya ratusan, sembari mondok saya juga menempuh pendidikan formal. Saya sekolah di SMP 1 Banguntapan (sebelumnya bernama Baturetno) yang berjarak sekitar 20 menit perjalanan bersepeda. Di pondok ada peraturan bahwa santri harus selalu menutup auratnya. Dengan kata lain antara pusar hingga lutut tidak boleh dibuka. Kadang saya mengenakan celana panjang, tapi lebih sering memakai sarung karena lebih nyaman — lebih isis (huruf kecil).

Sementara di sekolah siswa harus mengenakan seragam celana pendek. Jadi tiap pagi menjelang berangkat sekolah, saya selalu buru-buru keluar dari kamar menuju tempat parkir sepeda supaya tidak kelamaan mempertontonkan aurat di depan umum di dalam pondok. Teman-teman pondok saya yang sekolah di tsanawiyah dengan seragam celana panjang suka ngeledek, “sekolah kok cuma sempakan.” Tentu saja saya abaikan.

Selepas SMP saya melanjutkan sekolah di SMA 5 Yogyakarta. Meski nilai pas-pasan, tapi alhamdulillah saya bisa diterima di SMA yang lumayan favorit di Jogja. Lebih menyenangkan lagi karena jaraknya amat dekat dengan tempat saya mondok, cukup jalan kaki 15 menit. Saya tak lagi memerlukan sepeda.

Lagi pula sepeda saya sering rusak, terutama rantainya, dan saya kerap kesal dibuatnya. Jadi diterima di SMA 5 ibarat pucuk dicinta ulam pun tiba. Selamat tinggal saya ucapkan kepada sepeda yang telah tiga tahun menemani perjalanan saya hampir tiap hari, membelah Kotagede menuju Baturetno.

Harus saya akui, sebagai santri maupun sebagai siswa saya benar-benar bukan contoh yang baik. Meski tidak pernah kena takzir (hukuman), tapi saya terbilang kerap melanggar. Pelajar dilarang merokok, tapi saya pernah ketahuan merokok di angkringan oleh pengurus Bagian Keamanan. Di kelas, saat harusnya saya mendengarkan penjelasan ustad, saya malah sibuk membolak-balik buku karangan Kho Ping Ho yang saya sembunyikan di balik kitab.

Ada suatu masa dalam hidup saya ketika membaca cerita silat adalah kegiatan yang lebih menyenangkan ketimbang apapun. Saya bisa betah berhari-hari membaca tanpa henti, dalam rentang waktu beberapa tahun, kecuali untuk menjalankan aktivitas yang mau tak mau harus saya jalankan, seperti makan dan tidur, apalagi ketika libur.

Saya juga suka berbohong, mengaku berangkat sekolah tapi kebablasan hingga Malioboro. Padahal jarak pondok ke Malioboro puluhan kali lipat ketimbang ke sekolah, dan harus naik bus. Saya juga sering tertidur waktu mengaji, terutama habis subuh. Biasanya saya sudah tertidur sebelum pengajian dimulai, dan baru bangun setelah semua orang bubar. Tidur duduk adalah salah satu dari sedikit skill yang saya kuasai dengan baik.

Sebagai siswa lebih parah lagi. Rutinitas saya adalah membolos dan tidur di kelas. Untuk ini teman-teman SMA saya bisa jadi saksi. Saya tidak pernah mengerjakan PR, bahkan sering tidak tahu kalau ada PR. Entah berapa kali guru BP memanggil saya dan mengancam akan memanggil orang tua saya ke sekolah jika kelakuan saya tidak berubah. Syukurlah ancaman itu tidak pernah ditindaklanjuti, baik oleh saya maupun oleh guru BP. Saya tidak berubah, dan guru BP juga tidak pernah memanggil orang tua saya ke sekolah.

Dari kelas satu sampai kelas dua SMA, prestasi terbaik saya adalah ranking 38 — dari 40 siswa. Saya bahkan sudah menyiapkan mental untuk tinggal kelas. Untung tidak sampai kejadian. Secara akademik masa SMA adalah masa jahiliyah buat saya. Meski AADC memberikan nur buat seluruh anak SMA se-Indonesia, tapi saya tak tersentuh, tetap gulita. Karenanya ibu saya sampai sujud syukur waktu saya diterima di UGM, meski seperti saya dia juga tidak bisa menemukan penjelasan ilmiah di balik fenomena alam tersebut. Secara sederhana saya menyebutnya keberuntungan.

Namun meski nilai akademik saya berantakan, ada satu hal yang saya pelajari dengan serius: bahasa Inggris. Saya mulai tekun belajar bahasa Inggris kelas 3 SMA. Mulanya sederhana. Suatu malam saya terbangun selepas ketiduran waktu mengaji di masjid. Saya mendengar suara orang bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Logatnya kagok, tersendat-sendat. Namun entah kenapa saya terpesona. Bagi saya mereka terdengar keren. Mungkin karena saya sendiri tidak bisa.

Maka bukannya kembali ke kamar seperti biasa, saya tetap diam di situ dan mendengarkan mereka bicara. Mereka adalah para santri yang tergabung dalam English club. Entah dari mana datangnya ilham, mendadak saya memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Itu seperti light bulb moment yang terjadi begitu saja tapi telah mengubah arah hidup saya. Sejak itu saya tekun belajar bahasa Inggris. Saya rajin mengunjungi toko dan pameran buku untuk mencari bahan-bahan belajar. Saya berburu kaset untuk mengasah listening. Dari proses itulah saya berkenalan dengan novel-novel klasik seperti Great Gatsby dan The Picture of Dorian Gray yang dibuat versi singkatnya disertai kaset.

Saat memandangi menara gedung yang bertengger megah di kampus Georgetown University, tempat saya menimba ilmu dua tahun terakhir, saya terpikir betapa absurdnya perjalanan hidup yang saya alami. Dulu, ketika secara sembunyi-sembunyi saya menyelundup ke sekolah lantaran takut ketahuan tidak ikut upacara, atau saat pengurus pondok yang memergoki saya merokok justru membayari rokok yang saya beli seraya berujar “uang buat sekolah kok malah dipake buat beli rokok” (ngomong-ngomong, itu rokok ternikmat yang pernah saya kecap seumur-umur), tak sedikitpun terbersit pikiran bahwa saya akan bisa kuliah di salah satu kampus Amerika paling bergengsi.

Saya rasa itu berkat doa orang tua dan kyai saya yang tak putus-putus. Pak Kyai wafat tahun 2004, hanya beberapa bulan sebelum saya lulus. Saya dan teman-teman sekelas adalah angkatan pertama yang merayakan kelulusan tanpa kehadiran beliau. Kami sedih.

Saya sedih. Setelah hampir delapan tahun mondok, melalui hari-hari di bawah bimbingan dan doa beliau, saya harus menerima kenyataan bahwa Pak Kyai tidak akan menyalami saya saat kelulusan. Itu menyakitkan. Saya ingat betul setelah beliau wafat saya langsung pulang ke rumah untuk mengabarkan berita duka itu kepada orang tua saya (waktu itu kami belum punya HP). Sepanjang jalan air mata saya berurai. Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa Pak Kyai tak lagi bersama kami.

Sampai sekarang masih terngiang di telinga saya suara beliau yang meneduhkan ketika memberikan petuah. Hambatan fisik lantaran penyakit stroke tidak mematahkan semangat beliau untuk tetap mengajar, mengurus organisasi, menghadiri berbagai undangan kegiatan sosial, mengimami salat berjamaah. Saya selalu mengagumi semangat dan keuletan beliau.

Dari dulu saya tahu saya tidak akan pernah bisa meniru beliau, sealim, seikhlas, setakwa, sezuhud beliau. Saya juga tidak bisa menjalankan semua yang beliau nasihatkan. Saya sadar saya bukan santri yang di mata beliau ideal. Tapi saya percaya doa dan inspirasi beliau selalu menyertai setiap santrinya, termasuk saya, ke manapun dan sampai kapanpun. Sampai sekarang saya masih sesekali bertemu beliau lewat mimpi.

Washington DC, 11 Mei 2016 menjelang kelulusan dari Program Master di Georgetown University, AS.

Shohib Masykur, Alumni Pesantren Nurul Ummah, Yogyakarta dan Mahasiswa S2 di Georgetown, University, Amerika Serikat


Dimuat di Pendidikanislam.id

0 Komentar