Menyoal Rajab, Membincang Isra’ Mi’raj (2)
Oleh: Moh. Khoiron
Jika ada pertanyaan “Mengapa Isra’ dan Mi’raj terjadi di bulan Rajab?”,
maka untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan sebuah analisa panjang dan tajam
serta data-data yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan pula dengan jawaban
sederhana seperti “Ini rahasia Ilahi yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa”.
Bagi mereka yang ingin mencari selamat dan lepas dari perdebatan
akademik, mungkin opsi dari jawaban kedua ini sangat cocok. Namun bagi mereka
yang ingin mengungkap rahasia dan korelasi antara Rajab dan Isra’ Mi’raj, tentu
hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk terus membaca, menganalisa, dan
menyimpulkannya lewat laporan-laporan ilmiah.
Isra’ dan Mi’raj adalah dua peristiwa penting dan merupakan salah satu
mukjizat Rasulullah s.a.w. yang menembus batas alam fikiran manusia saat itu.
Dengan Isra’ dan Mi’raj sesungguhnya para sahabat sedang diuji oleh Allah
s.w.t.. Ujian di sini kaitannya dengan kualitas keimanan yang menghujam di
dada. Dengan kata lain, apakah mereka mempercayai sekaligus membenarkan
peristiwa yang berada di luar nalar logika manusia tersebut atau malah mengingkarinya.
Di samping itu, dengan peristiwa ini, Allah s.w.t. ingin memperlihatkan
bukti-bukti atas sebagian dari kekuasaan-Nya kepada hamba sekaligus utusan-Nya.
Dalam hal ini, Allah dengan tegas menyatakan: “Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. (QS: 17:01).
Ayat di atas secara spesifik menyatakan bahwa Allah s.w.t. dengan
kekuasaan-Nya memperjalankan Rasulullah s.a.w. di malam hari dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha, sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Rajihi dalam
“Syarah al-Thahawiyah”. Selanjutnya Mahmud Syakir memberikan pandangan bahwa
secara khusus perjalanan Nabi s.a.w. dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
terjadi sebelum hijrah di mana saat itu beliau melakukan shalat Isya’ di dekat
Ka’bah sampai tertidur. Tidak berapa lama kemudian datanglah dua malaikat
dengan membawa kendaraan bernama Buraq.
Ada beberapa pandangan di kalangan pakar seputar Isra, secara umum
perbedan pandangan itu dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu: (1) Isra’ yang dilakukan Nabi s.a.w. terjadi
di dalam mimpi, dalam hal ini para ulama menjustifikasi bahwa pandangan akan
hal ini dianggap terlalu lemah. Selanjutnya pandangan yang ke (2) adalah Isra
yang dilakukan Rasulullah s.a.w. hanya sebatas ruh tanpa jasad, hal ini
berdasar sebuah riwayat yang dinukil dari Aisyah, Muawiayah, dan hasan
al-Bashri. Kemudian yang ke (3) Isra’ terjadi beberapa kali, yang pertama
dilakukan di saat Rasulullah tidur, sedangkan yang lain dilakukan di saat
beliau terjaga. Dan yang ke (4) adalah Isra dilakukan di dalam keadaan terjaga
baik ruh maupun jasad dengan rentan waktu perjalanan satu malam.
Menurut persepektif
penulis, sepertinya pendapat yang terakhir inilah yang paling kuat, mengingat
dalam kaitannya dengan ayat yang telah disebut di atas. Kata “Abdun”
merupakan sebutan yang lumrah dan biasa bagi manusia seutuhnya. Bukan sebutan
bagi jasad, juga bukan pula sebutan bagi ruh saja. Pada pembahasan ini, kata “Abdun”
merupakan perpaduan antara jasad dengan ruh. Oleh karena itu, Ibnu Mandzur
memberikan defenisi kata “Abdun” dalam Lisan al-Arab dengan
manusia seutuhnya, baik ia merdeka ataupun sahaya, dikatakan demikian karena ia
sahaya di hadapan Tuhannya yang Maha Mulia dan Perkasa. Senada dengan Ibnu
Mandzur, Louis Makluf dalam al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam
memberikan penegasan bahwa yang disebut “Abdun” adalah manusia merdeka
atau budak di mana ia dituntut patuh dalam menjalankan seluruh perintah Tuhan
atau majikannya.
Terlepas dari
perpedaan pandangan di kalangan para pakar
di atas, ada beberapa poin yang perlu dicatat, yang pertama adalah
tanda kekuasaan Allah sangat besar di alam raya ini, dan Ia memperlihatkannya
kepada Nabi Muhammad s.a.w. yang kala itu dirundung duka dan nestapa setelah
kehilangan dua sosok yang amat dicintainya, yaitu Abu Thalib pamannya, serta
Khadijah istrinya. Lewat rihlah ini, Allah ingin meneguhkan sekaligus
memantapkan semangat Rasulullah s.a.w. dalam berdakwah, mengingat ke depan
halangan dan rintangan yang jauh lebih besar, menanti dengan segala resiko yang
ada. Kemudian yang kedua adalah pada momen ini, hakikat Nabi Muhammad s.a.w.
sebagai Sayyidul Anbiya (pemuka para Nabi) dan Imamul Mursalin
(imam para Rasul) dibuktikan. Hal itu bisa dilihat dari pemaparan Ibnu Hisyam
dalam Sirah Nabawiyah bahwa sesaat setelah Rasulullah sampai di Masjidil
Aqsha, beliau menjadi imam shalat para Nabi, Rasul, dan Malaikat.
Mi’raj Perjalanan Lintas Galaksi Untuk Menerima Wahyu
Setelah mengakhiri
perjalanan Isra dengan tujuan akhir Masjidil Aqsha, dan juga sehabis melakukan
shalat bersama para Nabi dan Rasul, kemudian Rasulullah dipersilakan oleh
Jibril menaiki Buraq untuk selanjutnya mengarungi sebuah perjalanan dahsyat
yang sulit dicerna oleh akal pikiran manusia saat itu. Itulah Mi’raj atau
perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsha sampai ke Sidratil Muntaha.
Secara etimologis, Mi’raj berarti alat untuk menaiki sesuatu. Dalam hal
ini Ibnu Mandzur menyatakan bahwa Mi’raj adalah tangga yang dipakai untuk
menaiki ketinggian. Sedangkan menurut terminologinya, pengertian Mi’raj adalah
naiknya Rasulullah dari Masjidil Aqsha ke langit menembus atsmosfir, melintasi
galaksi sampai akhirnya tiba di sebuah tempat yang dinamakan Sidratul
Muntaha.
Perjalanan Rasulullah yang maha dahsyat ini diabadikan oleh Allah dalam
firman-Nya: “Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat
(kepada Muhammad untuk menyampaikan wahyu), lalu bertambah dekat. Sehingga
jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu disampaikannya
wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah. Hatinya
tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak
membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu?. Dan sungguh, dia (Muhammad)
telah melihatnya (dalam rupa yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di
Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauinya. Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda
(kebesaran) Tuhannya yang paling besar”. (QS. 53:7-18).
Secara eksplisit ayat di atas menegaskan bawa ketika Rasulullah
melakukan Mi’raj, beliau banyak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang
meliputi planet-planet, gugusan bintang dan lain sebagainya. Sehingga tibalah
beliau di ufuk langit paling tinggi, di saat itulah malaikat Jibril menampakkan
wujud aslinya. Menurut al-Zamakhsyari di dalam tafsir al-Kassyaf saat
mengomentari ayat ini, ia menyatakan bahwa sesungguhnya Jibril tidak tidak
pernah menampakkan wujud aslinya kecuali kepada Nabi Muhammad s.a.w..
Di perjalanan ini, Rasulullah banyak menemukan tanda-tanda kebesaran
Allah s.w.t. yang diperlihatkan kepadanya, termasuk bertemu dengan para Nabi
dan Rasul sebelumnya. Kendati demikian di antara anugerah yang diperlihatkan
kepada Rasulullah adalah momen di mana beliau bertatap muka dengan Allah serta
bercakap-cakap, hingga akhirnya Allah memerintahkan syariat yang paling urgen
sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang muslim, yaitu shalat lima
waktu.
Perjalanan yang begitu singkat, namun sarat akan pelajaran dan
tanda-tanda kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada hamba-Nya merupakan
peristiwa yang sangat penting dalam perjalanan sejarah dakwah Islam. Walaupun
demikiam, harus diakui bahwa inti dari perjalanan mi’raj ini adalah
disyariatkannya shalat lima waktu sebagai ritual yang sangat penting bagi umat
Islam. Oleh karena itu dalam sebuah hadis dikatakan: “Sesungguhnya amal
perbuatan seorang hamba yang ditanya pertama kali kelak di hari kiamat adalah
shalat, apabila shalatnya benar, maka benar pula seluruh amal perbuatan yang
lain”. (HR. Tirmidzi, 413).
Membangun Ukhuwah lewat Toleransi
Mumpung masih di bulan Rajab yang sarat akan peristiwa penting ini,
sebagai seorang musim yang taat, hendaknya kita memperbanyak berfikir dan
merenung, betapa besar anugerah Allah yang diberikan kepada kita sebagai umat
Nabi Muhammad s.a.w.. Pada bulan ini, di mana Allah memperjalankan hamba-Nya
dalam Isra’ dan Mi’raj, seyogyanya kita meninggalkan perdebatan-perdebatan
kusir yang tidak perlu serta jauh dari sikap arif dan bijaksan yang pada
akhirnya menimbulkan perpecahan. Bagaimanapun juga kita umat Islam adalah umat
yang mengedepankan persatuan dan kesatuan.
Oleh karena itu, untuk merajut persatuan tersebut, maka sikap toleran
diperlukan untuk memperkuat tali ukhuwah baik kaitannya dengan ukhuwah
Islamiyah (Islamic Brothehood), Ukhuwah Wathaniah (Nation Brothehood),
dan Ukhuwah Insaniah (Humanities Brothehood). Sehingga dengan ini, kita
menjadi ummat yang didam-idamkan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an yaitu
Ummatan Wahidah, baik dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara.
Semoga!.
Moh. Khoiron, Pegiat Islamic Studies dan Sosiologi
Agama. Twitter: @MohKhoiron
0 Komentar