Menyoal Bulan Rajab, Membincang Isra’ Mi’raj (1}
Oleh: Moh. Khoiron
Ada beberapa
hal yang menarik jika memasuki bulan Rajab. Bukan hanya perdebatan yang
seringkali mewarnai khazanah intelektual Islam terkait ritual dan amalan-amalan
yang ada di dalamnya. Lebih dari itu adalah peristiwa besar yang sempat
menggoncang dunia arab saat itu dan misterinya masih menjadi polemik dan perdebatan
sengit di kalangan para pakar astronomi di seluruh dunia. Posisi bulan Rajab
yang menempati urutan ke tujuh dalam kalender hijriah serta menjadi bagian dari
bulan-bulan haram, menjadikannya terasa istimewa dalam pandangan umat Islam.
Secara etimologis,
Rajab berasal dari kata Bahasa Arab “Rajabun”
artinya pengagungan, dikatakan demikian, karena Allah. mengagungkan bulan ini
sebagai bulan-bulan yang diharamkan di dalamnya segala bentuk aktivitas yang
mengerucut pada peperangan. Sedangkan menurut terminologinya bulan Rajab adalah
bulan ke tujuh dari bulan-bulan tahun hijriah, berada di antara bulan Jumadil
Tsani dan Sya’ban.
Perdebatan Panjang Seputar Ritual di Bulan Rajab
Jika sudah memasuki bulan Rajab, maka nuansa pedebatan pun pasti dirasa
oleh sebagian orang, tidak hanya dalam halaqah-halaqah ilmiah dan di
media-media cetak, bagi mereka yang secara aktif mengikuti perkembangan
informasi di media sosial, iklim ini dirasa begitu akrab dengan hadirnya
beberapa status dan catatan seputar pro dan kontra amalan-amalan di bulan Rajab
yang mewarnai timeline pada akun-akun tertentu.
Sebenarnya, jika ditelisik pada akar permasalahannya, boleh dibilang letak
perdebatan mereka tidak keluar dari pembahasan lama. Artinya adalah wilayah
yang dipersoalkan merupakan permasalahan-permasalahan klasik (Classic
Discourses), yaitu terkait ritual yang seringkali dilakukan oleh sebagian
orang Islam di bulan Rajab semisal puasa, zakat, dan ritual-ritual lainnya.
Dewasa ini kita sering lupa dan cenderung tidak bisa mengontrol diri
hingga terjerumus ke dalam perdebatan-perdebatan kusir yang berujung pada
pertikaian dan perpecahan. Oleh karena itu, menurut perspektif penulis,
pedebatan masalah seputar ritual pada Bulan Rajab hanyalah bagian daripada
masalah-masalah furu’iyah (al-Masail al-Ijtihadiyah) yang tidak menutup
keniscayaan untuk melahirkan perbedaan pandangan.
Sepertinya, sikap toleran yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia secara
umum terlebih umat Islam secara khusus perlahan-lahan mulai tampak luntur
seiring dengan perkembangan zaman. Konsep Tepo Seliro yang dulu menjadi
falsafah hidup warga Indonesia, terlebih umat Islam serta sangat dijunjung
tinggi oleh siapapun, kini sudah tinggal kenangan. Hal ini bisa dilihat dari
klaim yang dilontarkan oleh kelompok yang sangat kontra dengan amalan-amalan
khusus di bulan Rajab.
Tudingannya pun tidak sekadar pada wilayah sindirian, ungkapan dan
sematan, serta tudingan negatif acapkali menjadi bumbu perdebatan ini. Tidak
hanya kelompok yang kontra, bagi mereka yang berada di kelompok yang pro pun
demikian. Dengan berbagai macam argumentasi untuk menangkis serangan yang
ditujukan kepadanya, terkadang mereka mencari pembenaran walaupun cenderung
dipaksakan.
Sejauh yang penulis pahami, antara kubu yang pro dan kubu yang kontra
terhadap amalan-amalan khusus di bulan Rajab sebenarnaya disebabkan oleh
beberapa hal, di antaranya adalah perbedaan sikap dalam memahami teks yang ada di
al-Qur’an maupun al-Hadis. Kemudian selanjutnya adalah perbedaan pandangan
terhadap teks yang bersifat musytarak atau lafadz pada kalimat yang
berpotensi memiliki makna yang bermacam-macam.
Sehingga dengan demikian, melahirkan paradigma berfikir dan kongklusi
yang berbeda-beda. Untuk itu, sebagai jalan tengah untuk keluar dari kubangan
perseteruan abadi ini, penulis memberikan sebuah opsi alternatif yaitu dengan
memahami teks yang ada di al-Qur’an dan al-Hadis secara holistik dan tidak memahaminya
secara parsial.
[]
Moh. Khoiron, Pegiat Islamic Studies dan Sosiologi
Agama. Twitter: @MohKhoiron
0 Komentar