Merawat Tuah Pesantren
Oleh Islah Gusmian
Sebelum era awal 1970-an, peran dunia pesantren jarang diperbincangkan di ruang akademik oleh para akademisi dan peneliti. Kemenangan partai NU pada Pemilu 1955—fakta politik tentang pengaruh besar kiai pesantren di bidang politik—tidaklah banyak dilihat sebagai peran pesantren yang ditopang oleh kiai. Sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah di era rezim Orde Baru juga tidak menyediakan ruang yang leluasa tentang peran pesantren dan orang-orang pesantren dalam perjuangan fisik di masa revolusi.
[caption id="attachment_15724" align="aligncenter" width="720"]
Setelah gerakan Islam transnasional berjubel di Indonesia dan tumbuhnya pesantren-pesantren yang menopangnya, dalam konstelasi global, dunia pesantren justru lebih sering (di)muncul(kan) sebagai sarang teroris. Bahkan, dalam konteks nasional muncul sejumlah pesantren—yang bisa jadi tidak terdaftar dalam database Kementerian Agama RI—dengan tanpa ragu dan rasa malu menolak nasionalisme, emoh NKRI, serta dengan nyinyir menuding Pancasila sebagai thaguth.
Tulisan singkat ini akan melihat tiga tradisi penting yang dibangun oleh dunia pesantren, yaitu tradisi pendidikan, jejaring, serta gerakan sosial dan politik. Ketiganya merupakan tuah yang harus dirawat dengan baik dalam kerangka Islam dan keindonesiaan.
[tps_title]Pendidikan Pesantren[/tps_title]
Pendidikan Pesantren
Ki Hadjar Dewantara, tokoh pendidikan nasional, pernah mencita-citakan dan ingin mengembangkan sistem pendidikan pesantren sebagai sistem pendidikan nasional, yang secara praktis kemudian diwujudkan oleh muridnya, Ki Sarino Mangunpranoto, ketika mengembangkan sekolah Farming di Ungaran, Semarang. Dalam kongres Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Solo, Juni 1935, dr. Sutomo juga pernah mengusulkan pendidikan pesantren sebagai pendidikan nasional. Sayang, oleh Takdir Alisyahbana, usulan itu ditanggapi dengan dingin dan dianggap sebagai anti intelektualisme.
Sutomo melirik dunia pesantren bukan tanpa alasan. Setidaknya ada lima hal mengapa pesantren menjadi pilihan, yaitu dalam dunia pesantren ada hubungan akrab dan intens antara santri dan kiai; lulusannya ternyata mampu masuk dalam dunia lapangan pekerjaan secara merdeka; kehidupan kiai yang sederhana; dan model pendidikannya berjalan duapuluh empat jam.
Karakteristik pendidikan pesantren memang berbeda dengan pendidikan ala Barat. Dalam dunia pesantren, praktik pendidikan bukan sekadar soal transfer ilmu pengetahuan (golek ilmu), tetapi juga transfer nilai (olah laku) dan spritual (olah rasa). Dalam hal transfer ilmu pengetahuan, berbagai bidang ilmu keagamaan dipelajari dan menghormati sistem sanad keilmuan, mulai dari bidang fiqih, ushul fiqih, tauhid, ilmu Al-Qur’an dan tafsir, tasawuf, mantiq, tata bahasa, sastra, hingga ilmu ketabiban dan doa-doa.
Keragaman bidang ilmu ini menjadi salah satu latar tumbuhnya pesantren-pesantren yang berciri khusus dengan satu bidang ilmu, meskipun bidang ilmu yang lain juga dipelajari. Misalnya, pesantren Al-Munawwir Krapyak, Al-Muayyad Solo, dan Kalibeber Wonosobo, dikenal sebagai pesantren Al-Qur’an. Ada pesantren yang dikenal di bidang ilmu tata bahasa, misalnya pesantren Sarang Rembang dan Ploso Kediri. Ciri khusus ini dinisbahkan pada kepakaran kiai yang ngesuhi pesantren-pesantren tersebut.
Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa keilmuan yang dikembangkan pesantren hanya berkisar pada bidang fiqih dan tasawuf tidaklah sepenuhnya tepat, karena pada kenyataannya di pesantren diajarkan beragam disiplin ilmu. Secara intelektual, para kiai pesantren membuktikannya melalui berbagai anggitan dalam bidang yang beragam. Misalnya, kiai pesantren juga menulis tafsir: Kiai Saleh Darat Semarang menulis tafsir Faidl al-Rahmân, Kiai Muhammad ibn Sulaiman ibn Zakaria Solo menulis Tafsîr Jâmi’ al-Bayân min Khulashah Suwar al-Qur’ân al-‘Adhîm, Kiai Ahmad Sanusi Sukabumi menulis tafsir Raudlah al-‘Irfân, Kiai Bisri Mustafa Rembang menulis Al-Ibrîz dan Kiai Misbah Mustafa Bangilan menulis Al-Iklîl fi Ma’âni al-Tanzîl, dan Kiai Baidhawi Siraj Kajen menulis Madhraf al-Basyîr ‘ala Nadh ‘ilm Tafsîr, penjelas atas karya Syekh Abdul Aziz.
Dengan model sorogan, bandongan, dan klasikal, pendidikan pesantren menumbuhkan penguasaan santri atas subjek-subjek keilmuan secara terbuka, utuh, dan detil. Ditambah pula, tradisi musyawarah keilmuan yang hidup di kalangan santri, secara alamiah mengajarkan kesadaran tentang prinsip-prinsip ilmiah (pentingnya maraji’ dan i’tibar yang jelas dan akurat) dan penghargaan atas pandangan serta analisis yang beragam dan berbeda. Terkait hal ini, dalam “kamus” pesantren dikenal istilah qîla dan wa qâla ba’dluhum. Istilah ini menunjukkan tentang kesadaran adanya keragaman pandangan dalam satu masalah keagamaan. Keragaman pandangan ini diperkenalkan bukan hanya di bidang fiqih, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu lain, seperti ilmu tata bahasa, yang di dalamnya diperkenalkan keragaman pandangan, misalnya adapandangan ulama Basrah dan ulama Kufah.
Kesadaran tentang keragaman dan perbedaan pandangan ini merupakan aset utama dalam merajut ukhuwah, toleransi, dan saling menghargai antarsesama Muslim. Betapapun kerasnya perbedaan pandangan keagamaan, sejauh tidak mengusik pondasi dan prinsip keimanan, dalam tradisi pesantren tidak pernah dikenal sikap mudah mengkafirkan orang. Orang-orang pesantren menyadari bahwa salah satu tugas pesantren adalah mengislamkan orang kafir, bukan sebaliknya: mengkafirkan orang Islam. Bagi orang-orang pesantren, dakwah Islam itu dilakukan dengan mengajak, bukan mengejek; merangkul bukan memukul. Dan orang-orang pesantren mempunyai kemampuan adaptasi dan adopsi yang sangat lincah dan indah atas nilai-nilai dan tradisi lokal serta tidak terjebak pada sikap puritanistik.
Selain kultur ilmiah dalam tradisi keagamaan, pesantren juga mewariskan tradisi transfer nilai. Hubungan dan menyatunya kiai-santri selama 24 jam dalam satu ruang sosial, tidakl hanya bersifat keilmuan, tetapi juga bersifat praktis dan emosional. Di sini, pendidikan bukan melulu urusan kesuksesan membaca kitab kuning yang dikenal rumit, tetapi juga bagaimana santri meneladani kiai dan kiai memberikan keteladanan dalam masalah-masalah sosial keagamaan. Dengan demikian, aspek praktis dari sebuah ilmu terinternalisasi dalam tindakan individu. Santri diajak untuk mengerti, memahami dan melaksanakan nilai-nilai sosial, budaya, dan politik. Kenyataan inilah menjadi alasan Ki Hadjar Dewantoro dan Sutomo kesengsem pada pola pendidikan pesantren.
Dalam memori para santri, kiai dan guru di pesantren menjadi satu miniatur penting sebagai pembentuk moralitas dan karakter yang berperan dalam meniti serta mengarahkan masa depan kehidupannya. Banyak catatan ditulis dan pengalaman dikisahkan di kalangan orang-orang pesantren tentang sikap, perilaku, dan pandangan para kiainya. Semua ini mencerminkan tentang adanya pengalaman yang terus hidup dan memberikan warna dalam dinamika kehidupan yang mereka jalani.
[tps_header]Spiritualitas dan Jejaring Dunia Pesantren[/tps_header]
Spiritualitas dan Jejaring Dunia Pesantren
Hubungan yang intens antara kiai-santri dan ingatan personal yang terbangun, hidup, serta tumbuh, karena adanya bangunan spiritual dan keikhlasan para kiai dan kepatuhan santri. Kita sering mendengar kisah-kisah tentang spiritualitas kiai dalam mendidik para santri. Misalnya, KH Ahmad Umar Abdul Manan (1916-1980), pengasuh Pesantren Al-Muayyad, Solo yang tidak mengeluarkan santri-santri nakal dari pesantren yang ia pimpin, tetapi mereka justru ditempatkan pada urutan pertama dalam doa-doa beliau di setiap usai salat tahajud, agar kelak mereka menjadi orang yang baik, sukses, dan bermanfaat. Dan benar, santri nakal yang didoakan itu menjadi kiai dan sukses secara sosial dan spiritual. Saya dulu ngaji kitab Alfiah secara khusus kepada KH Zakwan Kajen, bersama lima teman satu kampung. Kami adalah anak dari keluarga biasa. Untuk mengikuti acara pengajian itu kami tidak dipungut syahriah, bahkan setiap malam, di akhir pengajian, oleh sang kiai, kami disuguhi bubur hangat.
Spiritualitas semacam ini, yang tak mudah ditemukan dalam sistem pendidikan di luar pesantren. Ini adalah merupakan olah roso yang membangun ingatan spiritual para santri. Hal-hal yang tampaknya mudah dan biasa, karena dilakukan dengan ikhlas dan penuh dedikasi, secara spiritual menjadi pengikat dalam jejaring yang tumbuh antar santri dan kiai. Hubungan semacam ini menyadarkan kita bahwa pendidikan tidak melulu bersifat intelektualisme, tetapi juga bersifat spiritual dan huduriyah. Kiai dan guru menjadi jalan dan penyambung bagaimana spiritualitas santri bergerak dengan benar dan agama sebagai sistem nilai sebagai ageman (pegangan).
Hal-hal semacam itu, mestinya didayagunakan sebagai salah satu bagian utama dalam membangun solidaritas dan ukhuwah di kalangan umat Islam sekarang, baik dalam konteks keagamaan maupun sosial. Disadari bahwa pesantren memiliki jejaring yang luas dalam membangun dunia spiritual yang tidak setiap lembagai pendidikan dan keagamaan memiliknya.
[tps_title]Cinta Tanah Air dan Pemberdayaan Umat[/tps_title]
Cinta Tanah Air dan Pemberdayaan Umat
Harus diungkapkan dengan tegas dan terbuka bahwa orang-orang pesantren berada di garda depan dalam mempertahankan kemerdekaan negara dan bangsa. Dengan konsep cinta tanah air, orang-orang pesantren berhasil meramu konsep jihad dalam ruang kebangsaan dan kenegaraan. Kiai Subeki Parakan, misalnya, adalah tokoh penting di balik kehebatan bambu runcing. Sayangnya, nama beliau tidak ditulis dalam sejarah nasional yang diajarkan di sekolah-sekolah ketika berkisah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren merekamnya dengan detil sekaligus mendebarkan tentang peran beliau. Hadratus Syaikh Hasim Asy’ari adalah tokoh penting di balik peristiwa 10 Nopember dengan resolusi jihad yang beliau maklumatkan. Kecintaan pada NKRI juga digelorakan oleh Kiai Wahab Hasbullah dengan menggubah mars Ya Ahla al-Wathan.
Jauh sebelum kisah para kiai itu, pada era abad 18 M. kita mengenal Kiai Ahmad Rifa’i yang gigih melawan penjajah Belanda melalui syair-syair yang ditulisnya dalam aksara pegon. Dalam Abyân al-Hawâij khorasan 10, misalnya ia menulis syair:
Tanbihun, wong kafir melebu negoro Islam
Dadi raja negoro Jawi wus dawam
Iku satrune mukmin khas lan awam
Iku fardhu ain diperangi kafaham
Ngelawan raja kafir kinaweruhan
Ratu Islam maring raja kafir anutan
Bupati Demang Ngawula asih-asihan
Maring raja kafir anut parintahan.
Nasionalisme dan kesetiaan pada negara yang hidup di hati orang-orang pesantren tersebut selaiknya menjadi ingatan sosial kita dalam mengambil peran mengelola negara dan bangsa,serta pada saat yang sama menyemai nilai-nilai Islam. Secara intelektual dan konseptual, pesantren mesti menyediakan ruang dalam merawat negara dan bangsa. Ilmu-ilmu pesantren, misalnya bidang ushul fiqh, selaiknya ditransformasikan ke dalam ranah legislasi di gedung DPR dalam merumuskan undang-undang agar produk hukum dan kebijakan yang dihasilkan berorientasi pada kemaslahatan umat. Orang-orang pesantren diharapkan mampu merumuskan tema-tema baru yang dibutuhkan umat dan bangsa, misalnya tentang fiqih lingkungan, fiqih kewargaan, fiqih buruh, dan yang lain.
Secara politik dan ekonomi, di antara orang-orang pesantren harus ada yang bergerak dan ambil peran. Jejaring pesantren dan ribuan jamaah yang dimilikinya, saatnya tidak lagi menjadi objek atau sekadar pasar, tetapi harus menjadi subjek. Ukhuwah haruslah melahirkan berkah secara sosial, ekonomi, dan politik bagi pesantren dan bangsa. Sungguh kini bangsa Indonesia sedang menunggu tuah pesantren.
Islah Gusmian, Penulis buku "Khazanah Tafsir Indonesia: Dari Hermeneutika hingga Ideologi"
Dimuat di NU Online, 15 Februari 2016
0 Komentar